Part 36. Semuanya Milik Allah

2.1K 232 11
                                    

Part 36. Semuanya Milik Allah.

Happy Reading
Jangan lupa vote dan komen ya.

~~~

Zahril menatap makam di depannya. Tanahnya masih basah. Ini seperti mimpi bagi Zahril. Kemarin dia masih mengecup tangan Lia. Dia masih melihat senyum hangat Mamanya. Tapi hari ini, dia tidak bisa bahkan hanya untuk menatap mamanya lagi. Zahril mencengkram peci yang berada di tangannya. Awan sedang menggantung di atas langit menghalangi sinar matahari menyapa bumi. Zahril masih saja duduk di samping makam Mamanya padahal semua orang yang melayat sudah meninggalkan makam. Hanya ada dirinya sendiri. Zahra sedang di rumah. Mungkin cewek itu sedang menangis.

Zahril ingin menangis juga untuk menghilangkan sesak di dadanya. Dia kehilangan sosok seorang yang tulus menyayangi nya. Tapi air matanya tidak mau lagi keluar setelah menghabiskan malam pekat nya dengan tangis yang meraung. Zahril benar-benar menangis.

Azan yang samar-samar terdengar mengembalikan kesadaran Zahril. Cowok itu memperhatikan sekitarnya. Ah sudah hampir Duhur dan dia masih di sini.

"Ma, Zahril pamit pulang. Assalamualaikum," Ujarnya, mengelus nisan sang mama sebelum bangkit berdiri. Kaki Zahril goyah. Tiga jam berada di makam membuat persendian Zahril kaku. Sekali lagi Zahril menatap makam mamanya sebelum mengambil langkah meninggalkan kuburan.

Rumah masih ramai saat Zahril kembali. Tetangga dan sanak keluarga masih memenuhi ruang depan. Zahril mengucap salam sebelum masuk. Cowok itu bisa melihat Zahra yang berada dipelukan Putri. Hampir semua teman sekelas Zahra datang. Zahril berkedip saat melihat Putri yang juga menatap nya. Dia bisa melihat senyum tipis cewek itu, seolah mengatakan, "Jangan bersedih."

Zahril mengangguk. Dia kemudian mengambil jalan lagi untuk ke kamarnya yang sangat berantakan. Tidak ada seorang pun yang memperbaikinya. Zahril menghela nafas. Cowok itu memilih mandi terlebih dahulu sebelum sholat Duhur.

.
.
.
.
.

Tiga hari setelah kepergian Lia. Keadaan rumah tidak seperti hari-hari kemarin dimana kehangatan seorang ibu memancar setiap paginya. Sunyi. Sekarang beda, saat Zahril baru saja turun dari kamarnya untuk ke kampus. Cowok itu berdiri di pintu ruang makan. Meja makan kosong. Suara berisik pisau yang beradu dengan talenan sudah tidak ada atau percikan minyak panas yang berdesis. Juga kran air yang menyala kemudian berhenti. Tidak ada lagi harum bumbu nasi goreng.

Zahril menghela nafas. Cowok itu melangkah ke lemari es. Mengambil selembar roti dengan selai kacang. Zahril memakan sarapan nya dalam kesunyian. Papanya sedang berada di kamar. Pria itu jadi jarang keluar kamar saat di rumah setelah kepergian Istrinya.

Zahril menelan suapan roti terakhir nya. Cowok itu berjalan ke wastafel kemudian mencuci tangan sebelum melanjutkan langkah keluar rumah.

"Zahril." Sapa Ananda yang sudah berdiri di luar teras. Cewek itu menatap Zahril dalam. "Kamu sudah nggak apa-apa? Kamu masuk kuliah hari ini?"

Zahril mengangguk. "Aku baik-baik saja, Ananda. Kamu nggak usah khawatir." Ujar Zahril.

Ananda membuang nafas lega. "Aku kan khawatir. Soalnya kamu nggak ngaberin aku."

Zahril menatap sekilas Ananda. Wajah cewek itu memerah. Dua hari yang lalu seharusnya mereka sudah bertunangan. Menjalin ikatan sebelum janji suci terucap. Tapi Allah berkehendak lain. Jadi tunangan mereka batal. Keluarga Zahril tidak membicarakan nya karena masih dalam keadaan berduka. Sedangkan keluarga Ananda memaklumi apa yang terjadi.

PUTRI (Selesai) Where stories live. Discover now