08. Morning Rain

724 133 10
                                    

Pagi yang kelam ditanggal merah, pasalnya hujan sudah membasahi bumi sejak pukul 4 subuh tadi, tapi sampai sekarang sepertinya sang langit masih betah bersedu-sedan dengan mengeluarkan semua air matanya.

Kalau sesuai jadwal, harusnya sang surya sudah mulai meninggi saat ini tapi sepertinya langit kelabu itu tak mau mengalah, mengakibatkan hari yang harusnya indah ini malah menjadi suram dan cocok sekali untuk gundah gulana. Dan Tera adalah salah satu dari sekian banyaknya manusia yang mengeluh karena hujan yang tak kunjung reda itu.

Hujan memang begitu deras diluar sana, tapi itu tak melunturkan semangat Tera untuk mengunjungi sang Ibu yang masih betah berbaring dibrankar rumah sakit, kemeja putih kotak-kotaknya dan celana jinsnya kuyup karena ia nekat menerjang hujan deras bercampur angin lebat walaupun ia memakai payung sekalipun.

Rambutnya yang lepek beserta gigilan dari bibirnya yang membiru sukses membuat semua orang yang ada dirumah sakit menatapnya nanar, gadis muda yang malang.

"kenapa gak nunggu hujannya reda dulu, jadi basah semua kan kamu" tegur seorang suster cantik yang menyodorkan sebuah handuk putih bersih pada Tera.

"udah tiga jam aku nunggu hujannya reda tapi gak reda-reda" jawab Tera setelah menerima handuk tersebut.

"keringin dulu badan kamu baru masuk nemuin Ibu kamu" kata sang Suster sembari membantu Tera mengeringkan rambutnya.

"keadaannya Ibu gimana?" tanya Tera kemudian.

"masih belum ada kemajuan, kayanya kamu kurang rajin doanya" jawab sang Suster dengan sedikit gurauan.

Sedangkan yang dilontari gurauan itu malah termenung untuk sesaat, lalu akhirnya berucap "makasih ya Sus udah rawat Ibu saya"

"ngapain kamu bilang makasih itu kan memang pekerjaan saya.. Saya tinggal dulu ya, jangan lupa nanti beli paracetamol buat jaga-jaga kalau nanti kamu demam" pamit sang Suster pada akhirnya dan berjalan meninggalkan Tera menuju ruang rawat yang lainnya.

Dengan langkah yang diseret karena masih menggigil Tera berjalan mendekati brankar milik Ibunya kemudian mendudukkan diri pada kursi biru yang tersedia disamping brankar tersebut. Dilingkislah lengan kemeja putih kotak-kotaknya yang basah kemudian tangannya yang keriput karena kedinginan itu menggenggam erat tangan lemah Ibunya.

"Bu..." panggil Tera lirih

Merasa tidak ada sahutan, akhirnya Tera lebih memilih melanjutkan perkataannya.

"kayanya Tera jatuh cinta"

...

Pemeriksaan telah usai, dibandingkan tiga minggu yang lalu bisa dibilang luka-luka disekujur tubuh Kai tidaklah parah, hanya sekedar luka lebam bekas pukulan dari tongkat golf yang Ayahnya hadiahkan padanya dua jam yang lalu.

Bagi Kai ini bukanlah apa-apa, bahkan dia sudah lebih dari empat kali menjalani operasi karena tulang rusuknya yang sering kali patah akibat ulah bengis Ayahnya. Alasannya apalagi kalau bukan karena kegagalannya memimpin ST. Corp, Ayahnya selalu murka jika mendapati ST. Corp berada jauh dibawah NeoZ Group.

"sepertinya aku hanya perlu memberikan salep saja untukmu, tidak ada luka serius lainnya selain luka lebam" kata sang Dokter tua tersebut.

"jangan bilang ke Dio Om kalo Kai dipukul lagi" pesan Kai setelah mengenakan kembali kemeja birunya.

"kenapa? Kamu malu?" goda sang Dokter.

"bukannya gitu, tapi dia pasti bakalan marah lagi, panas kuping Kai" adu Kai dengan bibir manyunnya.

"kamu tenang aja, Om gak bakalan ngasih tahu Dio tentang ini, lagian anak itu juga jarang pulang kerumah" tukas sang Dokter kemudian.

"yaudah Om, kalo gitu saya permisi dulu ya" pamit Kai dengan senyuman lembutnya.

[anti] CommitmentWhere stories live. Discover now