<45>

73 10 2
                                    

Bugh

Bugh

Dua pukulan mendarat tepat di perut milik Gani. Darah mulai mengucur dari sudut bibir Gani. Devan yang tampak membara sekali lagi memberikan pukulan ke Gani, tepat di bagian rahang wajah milik Gani. Gani yang di serang tiba-tiba tidak memiliki kuda-kuda yang kokoh, dan karena itu ia goyah dan tumbang seketika. Gani hanya menatap Devan datar, walau bisa dibaca dari balik tatapan itu ada rasa heran yang ia pancarkan.

Sesaat yang lalu, saat mereka baru saja tiba, di sebuah gang kecil di dekat sekolah, Devan tanpa basa-basi langsung menghujani Gani dengan pukulannya. Tentu saja Gani yang kaget, kesusahan untuk menangkis pukulan apapun dari Devan yang datang secepat kilat.

Setelah puas memukul Gani, Devan berhenti dengan nafas yang tersengal. Bukannya ia kelelahan karena memukul Gani, ia lelah menahan agar ia tidak berlebihan memukul Gani.

Gani terduduk lesuh di tanah sambil mengelap darah yang keluar dari sudut bibirnya. Sebuah tangan terjulur di depannya, memberikan bantuan untuknya berdiri. Tentu saja, itu adalah Devan. Sebenci apapun Devan terhadap Gani, mereka sudah seperti sahabat karib.

"Berdiri lo!" ucap Devan malas sambil menjulurkan tangannya. Gani hanya menerimanya dan berdiri dengan sempoyongan, kesadarannya belum benar-benar pulih.

"Lo pasti tahu kan alasan gue mukulin lo?!" tegas Devan.

"Hn," gumamnya. Gani membersihkan kotoran yang menempel di bajunya saat duduk di tanah tadi.

"Kenapa harus dia bray? Kenapa lo berani banget? Gue tinggal setahun ternyata lo ngelunjak ya!"

"Gue gak bakalan jadiin dia piala berkilir," ucap Gani yang masih sibuk dengan bajunya lalu beranjak ke rambutnya.

"Lo mending mundur. Lo tahu kan, gue gak izinin siapapun sentuh Nabila." Gani menatap Devan sebentar. Pandangan Devan tidak berubah, ia tetap menatap tembok yang ada di depannya. Gani tidak membalasnya.

"Soal Farhan-"

"Gue bakal lepasin Nabila kalo lo bisa jadiin dia pacar lo!" potong Gani, lalu meninggalkan Devan. Devan hanya menghela nafas, mendengar kalimat Gani yang terakhir.

"Andai gue bisa. Mungkin udah dari dulu nyet," ucap Devan. Devan memasukkan tangannya ke saku hoodienya, dan ia juga jalan berbalik menuju motornya. Sesampainya ia di motornya yang diparkirkan di sebelah warung tadi, ia langsung mengendarainya kembali ke Panti.

~•~

Lisa yang masih sedih serta terkejut atas kejadian tadi, masih berdiam diri di warung itu untuk waktu yang cukup lama. Hingga, ia melihat Devan kembali, jantungnya berdegup sangat kencang saat melihat Devan yang mengarah ke warung itu. Namun, syukurlah Devan tidak masuk ke warung di mana Lisa tengah duduk merenung. Devan ternyata pergi mengambil motornya. Lisa menghela nafas lega.

Lisa melihat jam tangan yang ia pakai, jam itu menunjukkan pukul 6 sore tepat. Lisa kaget dan buru-buru pulang ke rumahnya. Ia berlari sekencang-kencangnya setelah turun dari angkutan umum di depan gang sempit dan kumuh, lampu mulai menyala di gang itu.

Lisa berhenti di depan rumah yang tampak seperti gudang. Ia melihat sekitar dulu sebelum masuk ke gudang itu. Saat ia masuk, gudang itu adalah rumah yang ia anggap neraka baginya. Rumah itu kecil, bahkan lebih kecil dari ruang kelas di sekolah pada umumnya. Bahkan, rumah itu bisa disebut sebuah ruangan.

Ruangan itu gelap, lebih tepatnya redup. Lampu yang berada di tengah ruangan itu bahkan tampak berkelap-kelip. Baju kotor dan sampah berserakan dimana-mana. Dan yang lebih mengejutkan, sangat banyak botol minuman keras yang berserakan, bahkan ada yang tersusun rapi.

Lisa segera pergi ke suatu sudut ruangan yang ditutupi tirai, dan di baliknya adalah 'kamar' milik Lisa yang sederhana, namun satu-satunya sudut yang rapi di rumah itu. Lisa segera mengganti bajunya dan berdandan. Ia memakai pewangi yang sangat banyak pada tubuhnya, demi menutupi bau tidak sedap dari rumahnya itu.

Ia tampil modis dengan gaun berwarna pink mengkilat di atas lutut di padukan dengan high heels berwarna merah. Dan rambut yang digerai. Ia juga memakai tas tangan berwarna hitam. Ia memasukkan sesuatu ke tas miliknya. Lalu ia pergi ke satu sudut lainnya dari rumah itu. Di situ terdapat wanita paruh baya dengan tampilan yang acak-acakan dengan kondisi mabuk.

"Ibu aku akan pergi kerja," ucap Lisa pelan.

"Woi! Kau sudah pulang! Dasar jal*ng! Kau sekarang berani-beraninya pulang telat! Minuman ku sudah habis! Belikan aku cepat!" bentak wanita itu terus menerus sambil menarik-narik rambut Lisa yang panjang.

"Ibu! Hentikan! Kau merusak rambutku!" bentak balik Lisa kepada ibunya. Ia melepaskan tangan ibunya dengan kasar.

Plak

"Beraninya kau membentakku! Dasar anak set*n kau!" teriak Ibunya. Lisa hanya menahan tangisnya agar tidak keluar dan merusak make-upnya.

Make-up mahal Sa. Tahan! batin Lisa.

"Aku pergi dulu. Aku akan membelikanmu minuman saat pulang," ucap Lisa. Ia keluar dari rumah miliknya dan berjalan keluar, tentu saja ia tak lupa memakai outwear untuk menutupi bajunya yang terlalu mencolok.

Setelah perjalanan panjang, ia sampai di sebuah tempat dengan lampu kerlap-kerlip di depannya, dan bertuliskan Club. Ia pun menjalani pekerjaannya dan baru pulang jam 1 dinihari.


TBC
|
|
|
Jangan berharap yang aneh-aneh! Saya author di bawah umur_<

Aku minta tolong ke kalian yang baca ceritaku komen ya, kalau sudah baca. Apapun itu! Mau nyepam atau gimana kek, serah kalian! Yang penting KOMEN!

PLEASE!

Eh...VOTE JUGA!!

Help me:'(

So ya, see ya:/

CLASSIC [Completed]Where stories live. Discover now