<48>

58 9 15
                                    

Keheningan menyelimuti Farhan dan Nabila. Suara deru angin yang lembut. Orang yang lalu lalang di dekat mereka. Barista yang terus menyebutkan sebuah nomor. Semuanya menjadi satu di sudut pandang mereka berdua.

Farhan menatap Nabila dengan dalam. Sedangkan Nabila merasa tidak nyaman. Sejak tadi, ia menghindari tatapan Farhan. Farhan tak berhenti, ia tak luput dari Nabila. Nabila menyerah.

"Ck! Lo maunya apaan sih?" tanya Nabila kesal. Membuang muka. Menyilangkan tangan di depan dada. Raut wajah Nabila tampak angkuh.

"Are you sure?" Satu kata yang keluar dari mulut Farhan membuat Nabila merinding. Nada Farhan sangat mengintimidasinya. Perlahan raut angkuh itu luntur dari wajah Nabila.

Ia melepaskan kuncian tangannya. Menunduk. Tidak bicara sama sekali. Tanpa melihat Farhan sekalipun. Farhan menghela nafas. Ia menggapai wajah mungil Nabila dan membuat Nabila menatap dirinya. Farhan merinding melihat wajah Nabila, sangat imut.

"Bil. Lo yakin yang lo bilang tadi?" tanya Farhan dengan suaranya yang lebih tenang. Nabila melihat ke arah lain sambil mengangguk sekali. Farhan melepaskan genggamannya.

"Okay. We are done." Nabila menatap Farhan tenang. Farhan membalasnya dengan tatapan dingin.

"Serius?" tanya Nabila. Farhan mengangguk mantap.

"Okay. Bay the way, thanks ya. Yang kemaren, kemaren dan kemarennya," ucap Nabila sambil menyengir ke arah Farhan. Menampilkan aura imutnya. Farhan bahkan mengutuk dalam hati, ingin mencubit pipi Nabila.

"Iya-in aja deh," datar Farhan.

"Oh iya. Lo tadi mau ngomong apa?" tanya Nabila memangku dagunya dengan telapak tangan.

"Sama kok." Hati Nabila seperti ditusuk belati putih. Ia harus menerima kenyataan.

Dari awal nih anak emang gak serius. Ck! batin Nabila. Ia tiba-tiba terpikir sesuatu.

"Eh...berati kali ini lo bisa kasih tahu gue. Alasan lo yang sangat jujur macarin gue kemarin," tanya Nabila. Farhan terlihat salah tingkah.

"Devan udah kasih tahu lo kali. Balik yuk. Nanti gue dihantam kak Nahal lagi." Farhan meninggalkan Nabila yang sedang berpikir keras akan penuturannya.

Saat Nabila sadar ditinggal Farhan, ia segera mengejarnya keluar.

~•~

Keheningan menyelimuti mereka selama perjalanan menuju Panti. Nabila canggung. Farhan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Mereka berdua hanya memilih diam. Hingga akhirnya tiba di Panti.

Farhan memarkirkan motornya. Nabila turun dari motor Farhan. Suasana masih terasa canggung. Nabila mengunci tangannya di belakang sambil menendang kerikil yang ada di bawahnya.

"Masuk gih." Nabila mendongak menatap Farhan yang sedang memperbaiki rambutnya.

"Lo sendiri?" tanya Nabila.

"Gue juga mau masuk. Mau ketemua sama Devan," ucap Farhan. Ia melangkahkan kakinya lebih dulu meninggalkan Nabila. Nabila melirik, menatap kepergian Farhan memasuki Panti. Sebuah senyuman terkembang di wajah Nabila.

Ia berjalan menyusuri taman dan memasuki rumah. Sesampainya di dalam ia tidak melihat keberadaan Farhan, apalagi Devan di ruang tengah. Tak ingin memusingkan diri, Nabila berjalan menuju kamarnya.

~•~

Riak air, deru angin, kicauan burung, terdengar begitu merdu di taman belakang Panti yang mengelilingi Farhan dan Devan yang sedang memandang langit.

Devan yang lelah berdiri, duduk di salah satu kursi santai di pinggir kolam renang. Langkahnya terdengar saat menginjak pijakan kayu itu. Farhan yang sadar akan gerakan Devan berbalik, dan mendapati Devan yang sudah duduk. Farhan menyusul duduk di depannya.

"Omongan lo benar Dev. Kayaknya lo ngutuk gue ya?" tanya Farhan dengan senyuman sinisnya ke arah Devan.

"Tergantung," jawab Devan singkat.

"Jadi gimana kedepannya?" tanya Farhan. Devan menaikkan alisnya sambil mengangkat pundaknya. Farhan hanya menghela napas pelan.

Keheningan di sekitar mereka tiba-tiba retak, saat terdengar suara nyaring memekkan telinga. "HAYO! KALIAN NGAPAIN BERDUAAN DISINI? IH JIJIK," ucap suara nyaring itu yang tak lain adalah Rara.

"Gendang telinga gue!" lagak Devan. Farhan hanya tertawa kecil. "Woi lidi, lo kok ada disini?" tanya Devan terhadap Rara.

Rara membelalak sambil menunjuk dirinya sendiri, "Apa tadi lo bilangin gue LIDI!?" tanya Rara histeris.

Devan memutar bola mata malas, lalu kembali menatap Rara. "Itu bukan pertanyaan gue nyet."

Rara menghentakkan kakinya kesal. "Gue datang mau ketemu Nabila. Pintu depan kekunci ya udah gue lewat belakang, eh kampretnya gue ketemu penjaga lilin," ucap Rara panjang lebar.

"Apa lo bilang!?" Devan maju ke arah Rara. Langkahnya terhenti saat seseorang muncul dari belakang Rara. Ia tampak tak asing. Badannya yang kecil. Rambut hitam lebatnya terurai. Selalu memasang wajah yang ceria walau ada kesedihan yang sedang menyelimutinya, Raya.

"Eh, lo gak sendiri lidi. Ada li-" Farhan menyenggol Devan, membuatnya berhenti berbicara.

"Masuk gih. Kayaknya mau hujan, mendung nih," ucap Farhan datar. Rara menatap langit dan benar, langit tampak mendung. Dengan wajah kesal ke Devan, Rara berjalan lebih dulu sambil menjulurkan lidahnya ke arah Devan. Devan membalsnya. Raya hanya mengekor di Rara.

"Hobi banget lo gangguin gue Han," ucap Devan berjalan masuk.

"Raya beda. Ejekan lo bakalan sakit bagi dia kalo lo ucapin." Devan berhenti. Farhan mendahuluinya.

"Lo beneran gak serius ya ama Nabila kemaren?" tanya Devan tiba-tiba.

Farhan berhenti. Membalikkan badan. Menatap Devan lekat. "Tergantung," ucap Farhan sambil mengangkat bahu.

"Ck!" Devan memasukkan tangannya ke saku celananya dan berjalan berdampingan dengan Farhan.















TBC
|
|
|
No notes!

Si ya_<



CLASSIC [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang