1. Jaka Someh. Pemuda Mandiri

7.3K 210 8
                                    

Di sebuah kampung yang bernama Kampung Cikaret, tepatnya di bawah kaki gunung Halimun. Saat itu hari menjelang subuh. Hawa dinginnya begitu menusuk sampai ke dalam tulang sumsum. Langit waktu itu masih terlihat gelap, namun seorang remaja nampak sudah sibuk dengan aktivitasnya memotong kayu bakar. Dialah Jaka Someh. Usianya mungkin masih sangat remaja, berkisar antara 13 atau 14 tahunan, tapi badannya sudah terlihat kekar dan berotot.

Jaka Someh sudah menjadi seorang yatim piatu, saat usianya sekitar 10 tahunan. Ibunya meninggal karena penyakit kronis yang dideritanya. Sedangkan Ayahnya meninggal lebih dahulu, yaitu saat Jaka Someh masih berusia tujuh tahun. Ayahnya meninggal secara mengenaskan setelah dikeroyok oleh anak buah Juragan Permana.

Juragan Permana adalah seorang rentenir dari kampung Rawa Balong, kampung yang masih berdekatan dengan Kampung Cikaret.

Saat masih hidup, ayah Jaka someh adalah seorang ustadz yang cukup di segani oleh masyarakat. Seorang ustadz yang tegas, berwibawa, dan memiliki hati yang dermawan. Beliau bernama Pak Sabarudin. Sering berceramah dari satu desa ke desa lainnya. Sikap tegasnya tersebut justru tidak disukai oleh para rentenir yang ada di kampung cikaret dan sekitarnya, terutama juragan Permana yang berkuasa di wilayah Kampung Rawa Balong yang berdekatan dengan Kampung Cikaret. Mereka merasa terusik oleh nasehat-nasehat dari ustadz Sabarudin, yaitu ayah Jaka Someh.

Hari itu, saat Ustadz Sabarudin pulang berceramah dari kampung Rawa balong, beliau di hadang oleh beberapa centeng Juragan Permana yang merasa tidak senang dengan isi ceramahnya. Beliau kemudian di keroyok dan dibunuh tak jauh dari gubuknya. Bahkan Jaka someh yang kala itu masih berusia 7 tahun ikut menyaksikan peristiwa tersebut. Dia tak mampu berbuat apa-apa kecuali hanya menangisi jenazah ayahnya yang telah mati sahid setelah di bunuh oleh para centeng dari Juragan Permana. Hati Jaka Someh sangat sedih dan marah.

Ibu Jaka Someh merasa syok melihat suaminya meninggal secara mengenaskan. Setelah itu dia sakit-sakitan sampai akhirnya meninggal dunia 3 tahun kemudian. Trauma kematian ayah dan ibunya cukup membekas di hati Jaka someh.

Saat masih hidup, ibu Jaka Someh sering menasehati agar selalu berhati-hati dalam berucap, jangan sampai menyinggung apalagi menyakiti perasaan orang lain. Ibunya seringkali berpesan kepada Jaka Someh agar bisa selalu menjaga tata krama, harus banyak bersabar, banyak mengalah, dan harus selalu rendah hati. Nasehat ibunya tersebut cukup membekas di dalam hati Jaka Someh bahkan telah membentuk karakter pada dirinya.

Sekarang, Jaka Someh sudah berusia 13 tahun. Tinggal di sebuah gubuk peninggalan almarhum kedua orang tuanya. Gubuk yang sangat sederhana, terbuat dari bilik bambu yang telah usang karena di makan usia. Di dalamnya hanya ada bale-bale bambu dan perapian yang terbuat dari tanah liat yang telah dikeringkan.

Bermandikan cahaya obor, Jaka someh begitu asyik menikmati pekerjaannya, membelah potongan kayu kering dengan sebilah goloknya. Memotong beberapa batang kayu utuh menjadi potongan-potongan kecil agar bisa digunakan sebagai kayu bakar. Keringatnya terlihat bercucuran membasahi tubuh.

Jaka someh memang seorang pekerja keras yang ulet. Malas adalah musuhnya. Dia benci kalau harus menganggurkan waktu dalam hidupnya. Prinsipnya tak boleh ada yang sia-sia. Selama longgar dan sehat, dia akan mengerjakan apapun yang sekiranya bermanfaat untuk dirinya ataupun orang lain.

Jaka Someh juga seorang yang ringan tangan. Tak merasa sungkan untuk menolong orang lain. Tidak peduli meskipun orang tersebut tidak menghargainya. Hatinya sudah cukup puas ketika melihat orang lain telah terbebas dari kesusahan yang sedang dialami.

Jaka someh tiba-tiba teringat dengan salah satu pesan almarhum ayahnya.

Waktu itu Pak Sabarudin pernah berkata kepadanya

Ksatria Ilalang: Sang Pendekar Pilih Tanding Yang MembumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang