24. Dewi Sekar Harum

1.9K 93 3
                                    

Waktu menjelang senja, di sebuah tempat yang berjarak 20 km dari bukit yang sekarang ditempati oleh Jaka Someh, nampak seorang gadis belia yang sedang berlatih ilmu kanuragan dengan giatnya. Seorang Nyai yang bernama Dewi Sekar harum, murid dari seorang pendekar wanita yang termashur di wilayah itu, Nini Gunting Pamungkas.

Nyai Dewi Sekar Harum terkenal dengan kecantikan dan keanggunannya. Tubuhnya yang molek dengan tinggi yang ideal, ditambah rambutnya yang terurai panjang sampai sepinggang. Kulitnya pun putih bersih dengan sorot mata bening nan indah yang menyempurnakan aura kecantikannya.

Aroma tubuhnya pun menebarkan keharuman bunga mawar dan melati. Sudah banyak lelaki yang terpikat oleh kecantikannya namun semuanya belum ada yang mampu menaklukan hatinya.

Selain cantik jelita, Dewi Sekar harum juga berasal dari keturunan bangsawan. Dia adalah putri dari Raden Suryaatmadja yang masih berdarah bangsawan dari kerajaan sumedang larang. Raden Suryaatmadja juga seorang ketua dari perhimpunan Pendekar aliran putih di daerah Sumedang Larang. Beliau adalah pemimpin dari padepokan Pusaka Karuhun yang terkenal di dunia persilatan di wilayah Pasundan.

Nini Gunting Pamungkas berkata pada Dewi Sekar

"Oke Nyai, sudah cukup latihannya hari ini, matahari sudah mau terbenam...guru senang...kemampuan kamu sudah meningkat pesat..."

Dewi Sekar hanya mengiyakan ucapan gurunya

"Baik guru...Saya juga sudah merasa letih...ingin beristirahat dahulu..."

Kemudian Dewi Sekar pun berpamitan kepada gurunya untuk pergi membersihkan diri di sebuah pancuran air yang letaknya tidak jauh dari tempatnya tadi berlatih.

Menjelang malam, Nini Gunting Pamungkas meminta Dewi Sekar untuk kembali menghadapnya. Setelah berhadap-hadapan, Nini Gunting Pamungkas kemudian berkata kepada muridnya tersebut

"Begini Nyai, tadi siang guru telah kedatangan tamu dari padepokan Teratai Putih, mereka mengatakan bahwa Ki Jabrik dan gerombolannya sudah mulai merambah ke kota raja. Beberapa perguruan seperti padepokan gajah putih dan pedang kahuripan sudah mereka luluh lantakan. Ramamu beserta para pendekar aliran putih lainnya sekarang sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi keganasan gerombolan Ki Jabrik. Menurut informasi yang guru terima, ki Jabrik dan gerombolannya bermaksud untuk menghancurkan padepokan Rama-mu, Nyai. Maka itu guru berniat untuk mengirim kamu pulang ke sumedang agar bisa membantu perjuangan rama-mu melawan keganasan Ki Jabrik..."

Mendengar bahwa dia di minta gurunya untuk pulang, Dewi Sekar merasa senang sekaligus khawatir. Senang karena akan bertemu dengan keluarganya yang sudah lama dia tinggalkan, khawatir karena keadaan keluarganya yang sekarang sedang mendapat ancaman dari kelompok Perkumpulan Ki Jabrik.

Dewi Sekar sempat mendengar kabar tentang munculnya Kelompok Perkumpulan Ki Jabrik yang telah meresahkan masyarakat dalam Lima tahun terakhir ini. Banyak masyarakat yang telah menjadi korban mereka. Selain menderita karena hartanya dijarah, banyak masyarakat yang menjadi korban pembunuhan. Anggota gerombolan penjahat tersebut memang terkenal kejam dan sadis. Gerombolan ini telah menjelma menjadi momok yang menakutkan bagi para pendekar. Sudah banyak padepokan silat di wilayah pasundan yang telah mereka luluh lantakan.

Meembayangkan keganasan gerombolan Ki Jabrik seperti itu, Dewi Sekar langsung menyetujui usul gurunya untuk segera pulang ke Sumedang Larang. Dia khawatir dengan padepokan ayahnya yang sedang terancam.

"Baik, guru, saya akan ikuti petunjuk guru...saya akan pulang untuk membantu Rama, kebetulan saya juga sudah sangat rindu dengan keluarga saya..."

Nini Gunting Pamunkas menganggukan kepala, sebenarnya dia merasa berat untuk melepas murid kesayangannya tersebut. Dia sadar bahwa tugas yang dia berikan kepada muridnya kali ini, adalah tugas yang sangat berbahaya, nyawa adalah yang menjadi taruhannya.

Meskipun hatinya berat, namun karena sadar bahwa muridnya memiliki kewajiban membela keluarga, Nini Gunting Pamungkas tetap tega memerintahkan muridnya untuk segera pulang.

Bagi Nini Gunting Pamungkas, Dewi Sekar bukan hanya sekedar seorang murid, melainkan sudah dianggap sebagai anak sendiri. Bagaimana tidak, dia telah mengasuh dan mendidik nya semenjak Dewi Sekar berusia 6 tahun.

Setelah terdiam beberapa saat Nini Gunting Pamungkas berkata kepada Dewi Sekar

"Ya sudah Nyai, malam ini kamu bersiap-siap, besok pagi kamu bisa berangkat pulang ke Sumedang".

Dewi Sekar menganggukan kepalanya sambil berkata

"Terima kasih Guru, sekarang saya mohon pamit dahulu, saya izin mempersiapkan bekal untuk besok pagi".

Nini Gunting Pamungkas pun mempersilahkan Dewi Sekar Harum

"Ya Nyai, silahkan..."

Besok paginya, Dewi Sekar kembali berpamitan kepada gurunya. Dia akan berangkat ke Sumedang Larang sendirian.

Karena tak kuasa menahan kesedihan akan berpisah dengan gurunya, air matanya mulai berlinang. Demikian juga dengan Nini Gunting Pamungkas, yang hatinya berat untuk melepaskan kepergian muridnya. Nini gunting kemudian memberikan restu kepada Dewi Sekar.

Dewi Sekar berangkat dengan mengendarai kuda. Ketika melewati gerbang padepokan,Dewi Sekar teringat dengan kenangan masa lalunya, saat pertama kali dia di bawa dan diperkenalkan Dewi Tanjung Biru kepada Nini Gunting Pamungkas. Dewi Tanjung Biru adalah salah satu adik kandung dari Raden Surya Atmaja. Saat itu Dewi Sekar masih berusia 6 tahun, setelah ibu kandung nya, bernama Dewi Laras wangi meninggal.

Ibunya meninggal setelah mengalami pendarahan ketika melahirkan Raden Arya Rajah. Adik kandung Dewi Sekar.

Awalnya ayahnya keberatan untuk berpisah dengan Dewi Sekar. Namun setelah di yakinkan Dewi Tunjung Biru bahwa semuanya itu untuk kebaikan masa depan Dewi Sekar, akhirnya Raden Surya Atmaja merelakan putrinya berada dalam asuhan Nini gunting Pamungkas.

Setahun sekali Raden Surya Atmaja mengunjungi Dewi Sekar sambil membawa Arya Rajah. Hubungan Dewi Sekar dengan adiknya itu terbilang baik. Meskipun jarang bertemu, namun keduanya saling menyayangi sebagai adik dan kakak.

Ksatria Ilalang: Sang Pendekar Pilih Tanding Yang MembumiWhere stories live. Discover now