32. Melodi SA

359 41 6
                                    

Alma masih belum bisa mengalihkan pandangan, dari para pemain biola di restoran yang dia, juga kedua orang tua datangi. Acara malam ini tak melibatkan dirinya dalam pembicaraan para orang dewasa seperti yang lain, baik dia atau sang ibu datang untuk menemani. Namun, Delara terlibat pembicaraan dengan istri teman bisnis sang suami, tetapi tidak untuk Alma.

Alma memilih duduk menghadap panggung, tempat pas untuk melihat para musisi hebat yang begitu asyik memberi pertunjukkan terbaik. Ketika musik berhenti, kekompakan begitu mendominasi. Tanpa paksaan tepukan pun diberi. Bahkan, tak sedikit yang meminta agar mereka kembali bermain.

Tepukan juga datang dari Alma, mereka benar-benar hebat dalam bermain biola, irama yang mampu menghipnotis. Bukan hanya itu, Alma pun tak menyangka kalau pemuda tersebut ada di sini dengan penampilan keren. Aura lain dari sosok penyendiri dan dianggap pendiam sepanjang dia bersekolah di SMA Akasia.

Oh, apa ini alasan ayahnya meminta untuk ditemani sampai Alma pun ikut? Alma menggeleng-geleng, menepis cepat semua pikiran di kepala. Semua itu, masih menjadi tanda tanya besar sampai mendapat jawaban paling tepat dari sang ayah.

Kembali suara dari gesekan biola terdengar. Kali ini hanya satu orang yang terlihat memainkan alat musiknya. Tampak sangat lihai membunyikan biola melalui busur ke senar, tempo awal pelan lalu cepat. Kemudian dalam waktu 25 menit berhenti, membuat banyak pasang mata menunggu karena seperti yang Alma pikir, kalau pemuda tersebut masih akan memainkan alat musiknya.

Benar saja, dia kembali bermain dan sekarang tidak menggunakan tempo cepat hanya pelan. Namun, sukses membuat merinding. Alma mengabadikan moment langka tersebut, tak lupa mengirimkannya ke grup ALUNA. Dalam hitungan 45 menit setelah video terkirim, grup tersebut kembali ramai seperti pasar.

[Ini Sakha? Astaga!] Pesan pertama datangnya dari Luna, merasa tak percaya dengan pemuda yang berada di video tersebut.

[Keren banget, Ma!] timpal Nabila yang muncul, selang tiga menit setelah Luna.

[Suruh datang ke rumahku, Ma. Aku mau minta foto!] Kembali pesan Luna terkirim, dibaca oleh Nabila dan Alma.

[Serasa ketemu pemain biola profesional, nggak, sih? Sakha bagus banget mainnya.] lanjut Nabila yang tak kalah heboh.

[Besok aja kalau mau foto, ya, sekarang aku mau off dulu, dah. ☺🤭] Setelah mengirim pesan, Alma keluar dari aplikasi berwarna hijau tersebut.

Saat melihat ke atas panggung, Sakha terlihat berduet dengan salah seorang yang juga ikut andil dalam pertunjukan. Alunannya sangat merdu, maha karya yang begitu indah tanpa dusta. Memang benar, ketika seseorang mencintai apa yang dia kerjakan maka hasilnya tidak akan buruk. Justru menjadi hal luar biasa.

"Alma?" Menoleh, mendapati sang ayah berdiri di sampingnya.

"Eh, ayah." Alma memperbaiki posisi duduk, Asraf juga duduk di kursi samping, tersenyum melihat putrinya.

"Nggak nyangka, ya, bisa ketemu dia." Pernyataan yang menghadirkan raut bingung tentang siapa yang ayahnya maksud. Tahu kalau putrinya bingung, Asraf mendekat lalu membisikkan sesuatu. "Sakha."

"Ayah!" Mata Alma membulat mendengar penuturan ayahnya, sedang Asraf membalas ekspresi sang anak dengan kekehan. "Hm, apa ini alasannya ayah minta aku juga agar menemani ayah?"

"Iya." Tak butuh waktu lama, dengan cepat Asraf menjawab. "Ayah tahu dia ada di sini, tapi ayah nggak tahu dia akan tampil sekeren itu. Sampai anak ayah sulit ngalihin pandangan ke arah lain," godanya mendapat pukulan dari Alma.

Alma mengerucutkan bibir, melengos, tak mau melihat ayahnya. Akan tetapi, kalau disuruh jujur penampilan Sakha memang sangat keren. Pemuda yang begitu jarang mendapat lirikan para gadis di sekolah, tak sangka punya banyak penggemar di luar. Mungkin saja beberapa gadis yang mengatakan dia manis, sudah pernah mendapati Sakha bermain sebagus tadi.

"Alma, eh, jangan diamkan ayah." Suara Asraf membuyarkan lamunan Alma, membuatnya kembali melihat sang ayah dan masih dengan ekspresi cemberut. "Sudah turun, sebentar ayah panggilkan."

"Panggil siapa?" Alma mengikuti arah Asraf melihat. "Hah! Eh, ayah, jangan, ya, nggak perlu." Menolak halus.

Alma mungkin cukup kenal dengan Sakha, terlebih mereka satu sekolah dan satu kelas. Namun, ini di restoran, Sakha juga selesai tampil. Pasti akan banyak pasang mata yang memberi tatapan horor padanya ketika tahu idola mereka menghampirinya, kalau begini caranya siap-siap kena cibir.

Mata Alma terbelalak, pemuda itu memberi respon ramah pada ayahnya. Sekarang Alma merasa tempatnya berada di ambang bahaya. Alma memegang tangan ayahnya berusahan menurunkan, tetapi tetap saja Sakha sudah berjalan ke arah mereka. Baru kali ini perasaan canggung bertemu Sakha berada pada level 10, benar-benar di tingkat teratas.

Alma terdiam ketika pemuda tersebut mengambil duduk di samping Asraf. Berbincang sejenak dengan sang ayah, terlihat begitu akrab seperti sudah mengenal lama. Ah, ayahnya memang sosok pria yang mudah bergaul dengan siapa saja tak terkecuali Sakha.

Alma langsung meraih gelas yang di dalamnya terdapat es jeruk segar. Memfokuskan diri untuk menghabiskannya, menunduk memperhatikan air minum saja. Sadar dilirik, Alma merasakan tangannya bergerak ke arah yang tidak semestinya, menggaruk pelan tengkuknya. Apa yang terjadi padamu Alma? Dia merasa seolah-olah menjadi salah tingkah. Namun, tetap berusaha terlihat baik-baik saja.

Asraf melirik Alma yang menunduk, mengaduk air di gelas dengan sedotan. Kemudian meminum sebentar, lalu melakukan hal yang sama lagi. Melihat tingkah laku Alma seperti itu membuat Asraf tertawa, Alma dan Sakha langsung memperhatikannya.

"Ayah, nggak yang lucu, ish!" lirih Alma lalu memegang lengan ayahnya.

Menghentikan tawa, lalu mengembuskan napas. "Iya, ayah udah berhenti, nih." Asraf mengelus puncak kepala Alma sejenak, lalu mengalihkan pandangan pada Sakha. "Oh, iya, apa boleh kamu memainkan satu lagu untuk Alma?"

"Ayah, enggak usah." Kembali Alma memegang lengan ayahnya, menggeleng pelan serta terdengar sedikit merengek.

"Boleh saja," jawab Sakha cepat.

Alma menoleh ke arah Sakha, geming sejenak. Jawaban pemuda itu tak dapat ditebak begitu juga permintaan sang ayah. Dari samping kanan suara senang datang dari ayahnya, membuat Alma pun akhirnya setuju.

"Tenang aja, penggemar Sakha nggak akan nyakar iya, 'kan Sakha?"

Sakha terkekeh pelan. "Nggak ada penggemar, kok, Paman."

"Benarkah?" Alma melirik beberapa orang yang duduk tak jauh dari mereka.

"Iya, benar." Sakha mengangguk, membuat perasaan Alma sedikit lega. Apa sekarang posisinya sudah tak begitu membahayakan? Syukurlah, kalau memang benar begitu. Akan tetapi, tak salah jika Sakha memiliki penggemar. Dia memang sangat keren memainkan alat musik tersebut.

"Sudah, mau lagu apa atau ayah yang pilih?" tanya Asraf pada Alma, membuat gadis itu diam dan berpikir. Diamnya untuk berpikir tentang judul lagu apa.

"Perfect, Ed Sheeran." Alma terlihat antusias ketika menyebut pilihannnya. Tanpa berpikir dua kali bisa atau tidak, Sakha langsung mengangguk pertanda bisa.

Perlahan Sakha meletakkan biola di salah satu bahu. Kemudian membawa busur pada senar, mulai memainkannya. Lagi dan lagi, permainan musik Sakha terdengar indah, irama sesuai porsi, menyentuh kalbu. Mendengarnya membuat Alma tersenyum, ya, tentu ini menjadi salah satu kenangan indah baginya.

***

Perfect - Ed Sheeran (Biola)

Argia (Tamat)Where stories live. Discover now