44. Seperti Orang Asing

405 39 0
                                    

"Aku pikir, aku bersahabat dengan dia. Faktanya ekspektasiku terlalu tinggi. Bahkan, sudak tak tergapai."

- Zalfa Qirani -

***

Usai kepergian Aiyra. Zalfa menangis tanpa suara, hanya ada air mata yang sesekali jatuh lalu secepat mungkin, dihapus. Saat sekarang menangis dalam diam, percayalah itu sangat menyakitkan untuknya. Tentu dengan hubungan yang hampir terjalin sekitar dua tahun bukanlah waktu singkat. Bayangkan bagaimana kedekatannya kala itu. Akan tetapi, jika bisa memilih maka Zalfa tidak mau menangisinya.

Kenapa?

Sebuah pertanyaan paling serius tiba-tiba muncul dalam pikiran dan terucap di hati, kenapa dirinya bisa menjadi selemah ini saat menyangkut hubungan persahabatan?

Sadar akan hal yang baru saja terjadi. Bahwa gadis itu, telah menjadi asing dan hanya hadir dengan maksud tertentu.
Gadis itu, telah mempermainkan suatu hubungan baik seolah-olah hanya sekadar candaan.
Apalagi yang harus terlihat?

Zalfa tampak mengusap kasar wajah. Tak ada lagi yang perlu berusaha membuktikan, sebab dia sendiri telah memperlihatkan seperti apa pikirannya. Kalau dia adalah orang dengan tingkat kepedulian paling menipu selama hampir dua tahun pertemanan.

Sekarang, berusaha tetap tenang menyikapi situasi tersebut dan mencoba untuk tidak larut dalam sedih berkepanjangan, merupakan cara yang cukup memberi andil. Akan tetapi, rasa sakit dan air mata masih enggan bersahabat.

Ada yang bilang, persahabatan akan makin erat apabila terdapat perdebatan di dalamnya. Namun, dapatkah Zalfa setuju akan hal itu? sulit! Mengapa?

Sebab, perdebatan yang terjadi pada hubungan persahabatannya bukan lagi pertengkaran kecil yang akhirnya akan menciptakan senyum. Perdebatannya bukan tentang memilih barang-barang kesukaan, makanan kesukaan, atau gaya rambut, dan hal kecil lain. Tidak, bukan itu.

Akan tetapi, jauh lebih besar. Perdebatan yang jauh lebih besar. Bahkan, membayangkannya saja tidak pernah. Tiada sedetik pun Zalfa terpikir kalau mereka akan saling berdebat dan berakhir, dengan keretakan. Namun, kalau saja hari ini tidak retak, maka keraguan bisa saja mengambil peranan dan akan berada di barisan terdepan perasaan.

Ragu, satu kata yang sudah dapat memperlihatkan bagaimana kepercayaan telah hilang, tanpa harus memberitahu kalau dia sudah tidak begitu percaya akan suatu hal.

Memejamkan mata, seiring bulir bening yang kembali membasahi pipi. Zalfa masih terus menangis, sementara disekeliling mulai mempertanyakan penyebab Zalfa diam dan menangis. Sambil berbisik-bisik satu sama lain, hal itu terus menjadi topik perbincangan kali ini.

Cukup lama, sampai bel masuk berbunyi. Para murid duduk di tempat masing-masing, kecuali Aiyra dan satu murid perempuan lain yang sempat bertengkar dengan Aiyra di luar kelas.

***

Pelajaran Seni Budaya baru saja selesai dan Azlan kembali mendapat pujian dari guru pemegang mata pelajaran tersebut untuk gambarnya. Bukan cuman untuk menyenangkan, tetapi gambar Azlan memanglah bagus.

Namun, pujiannya sama sekali tidak menciptakan peranan apa-apa terhadap hidup Azlan. Sama sekali tak berdampak. Bahkan, sampai sekarang Azlan tidak memiliki niat untuk mengasah lebih dalam keahliannya dalam menggambar. Semua itu hanya untuk memenuhi pr yang telah diberikan.

Terbukti dengan respon Azlan. Usai berterima kasih, dia langsung memasukkan gambarnya ke tas tanpa memperhatikan gambar tersebut. Tidak ada ekspresi, hanya keterdiaman. Tentu semua ini tak lepas dari pandangan Alma. Gadis itu, langsung menghampiri. Kemudian menahan tangan Azlan.

Argia (Tamat)Where stories live. Discover now