27. Ilusi atau Nyata?

365 47 0
                                    

"Stop!" Nada Alma sedikit meninggi, sedikit berteriak membuat Sakha terdiam. Perlahan, Alma membuka mata. "Oke, oke, aku pasti bisa. Aku, aku akan berbalik dan melihat." Keyakinan yang terlihat kembali.

Sakha mengangguk, walau mengetahui Alma tidak melihatnya mengangguk. Akan tetapi, ada perasaan senang mengetahui gadis itu akan berbalik melihat. Apakah ini terkesan sedikit memaksa? Tapi setidaknya Alma mau melihat ke belakang.

"Oke, semua akan baik-baik saja." Sakha meyakinkannya kembali, mencoba membentuk dinding pertahanan yang lebih kuat dari sebelumnya bagi Alma.

Alma mengangguk, lagi dan lagi, dia menguatkan perasaannya kalau semua akan baik-baik saja. Ya, begitu ucapan Sakha barusan, tetapi percayalah perkataan pemuda itu mampu membuat Alma sedikit lebih tenang. Dalam hati, Alma mengulang penuturan yang Sakha ucap barusan sebanyak tiga kali.

Semua akan baik-baik saja.

Kembali mengatur napas, terus berusaha tenang dan mengendalikan diri. Perlahan, Alma akan mulai berbalik melihat ke belakang. Pandangannya masih menunduk memperhatikan sepatu yang dipakai.

"Alma!" panggilan seseorang seketika menghentikan pergerakan Alma untuk berbalik. Alma mantap mengangkat pandangan, mengarahkan pengelihatan pada suara dari depan.

"Nabila." Mata Alma terbelalak, sedikit tak percaya kalau temannya ada di sini. Namun, bukan mustahil karena koridor tempat Alma berdiri saat ini, masih di sekolah.

"Nabila?" Sakha ikut melihat ke arah yang Alma lihat, tetapi untuk sekali lagi tidak ada siapa pun. Seakan-akan seperti ilusi. "Alma, aku nggak lihat Nabila," lanjutnya.

"Nabila, kenapa tiba-tiba kamu ke sini?" Alma melanjutkan bicaranya, tanpa mempedulikan Sakha yang tentu masih terhubung melalui handsfree.

"Aku dari tadi mencarimu, makanya jalan sampai sini. Ya, berharap menemukanmu dan ternyata benar ada." Sekarang Nabila tepat berdiri di hadapan Alma, membuat Sakha dapat melihatnya.

Melihat apa yang terjadi sekarang, membuat otak Sakha langsung berpikir cepat. Kalau apa yang Alma rasakan ada, sebenarnya memang ada. Tidak bisa dilihat bukan berarti ilusi, hanya saja ada sesuatu yang sukses menghalangi mata untuk menjangkaunya.

Apa penghalangnya?
Sakha tak bisa berkomunikasi lebih lama, karena Nabila sudah lebih dahulu menarik Alma pergi.

***

Luna berjalan pelan menuju kantin lebih dahulu, meninggalkan Nabila dan Alma yang terus saja mau memapah. Apalagi setelah tahu, kalau sebenarnya Luna belum diperbolehkan masuk sekolah, tapi dia memaksa mau masuk.

Santai di rumah dan menjauhi pelajaran adalah salah satu hal terindah untuk sebagian murid. Akan tetapi, tidak untuk Luna. Satu hari di rumah tanpa menginjakkan kaki ke sekolah membuatnya bosan. Ya, belajar terkadang menghadirkan kantuk untuknya. Namun, di sekolah juga bisa membuat dia tertawa, senang, kesal, dan masih banyak lagi.

Terus berjalan, sesekali melihat ke belakang. Berharap kedua temannya sudah pergi ke kantin melewati jalan lain. Pandangan yang lebih fokus memperhatikan daerah belakang, daripada depan membuat Luna tak sengaja menabrak seseorang.

Seketika tubuhnya terdorong ke depan, akan jatuh. Namun, tiba-tiba Luna merasa melayang, tak sampai menyentuh lantai kenapa bisa?
Luna yang saat itu akan jatuh memejamkan mata, dengan cepat kembali membuka mata. Ternyata tangan pemuda yang ditabrak berhasil meraihnya. Tatapan mereka bertemu, cukup lama sampai kejadian itu tepat dilihat oleh Arga.

Arga memberi tatapan tak suka, kesal, juga marah. Terasa ada api yang berkobar dan penyebabnya ada di depan mata.

"Dia mencoba merebut My Luna dariku? Nggak, nggak boleh. Azlan!" Arga berjalan cepat menghampiri keduanya yang langsung memperbaiki posisi berdiri.

"Eh, hm, terima kasih dan maaf tadi aku nggak sengaja nabrak."

"Sama-sama, nggak masalah, kok."

"Azlan!" teriakan itu kembali terdengar. Namun, Luna tak mau ambil pusing. Dia mengambil langkah dan bergegas pergi setelah Arga sudah berdiri di depan Azlan. Sama sekali tidak berbalik, Luna belum ada rasa. "Malah pergi, My Luna! Huh."

"Kenapa?" Azlan memasukkan kedua tangan ke saku celana, melihat dengan santai dan seolah-olah tidak ada masalah. Memang bukan perkara besar, untuk apa dipermasalahkan? Hati Luna pun belum seutuhnya mengiakan Arga. Lalu, salah Azlan di mana? Kalau nggak dipegang Luna bisa jatuh.

"Kamu yang kenapa, kenapa deketin Luna?"

"Sudahlah, ambil saja dia. Tadi, aku hanya menolongnya karena mau jatuh." Penjelasan yang hanya terhempas kasar ke udara, menghilang bagai debu dan sama sekali tak berpengaruh bagi Arga. Ketua OSIS ini, sudah lebih dahulu terbakar api cemburu.

"Azlan!" Masih dengan kekesalan yang sama, Arga masih belum menemukan ketenangan.

"Jangan melebih-lebihkan, aku hanya menolongnya!" kesal Azlan, lalu melangkah pergi meninggalkan Arga yang masih di sana dengan penuh kekesalan. Masa bodoh, dengan ketua OSIS yang jatuh cinta pada wakilnya sendiri.

***

Alma tidak pergi ke kantin, tetapi memilih ke taman menemui Sakha. Ya, walau perasaan takutnya masih jauh lebih besar. Namun, Alma masih ingin mencoba melakukan semua untuk mendapat bukti nyata.

Sampai di sana bukannya melihat Sakha, Alma malah menemukan taman yang tidak ada orang lain kecuali dia. Harusnya ada Sakha di sini, harusnya pemuda itu sudah lebih dahulu ada beberapa menit lalu.

"Ke mana dia? Nggak biasanya." Perlahan, Alma duduk di kursi yang biasa Sakha tempati.

Melihat taman sepi begini, tanpa adanya pemuda itu membuat Alma sedikit kesal karena tidak ada yang bisa diajak untuk berbincang. Kalau begini, Alma merasa seperti orang yang menyendiri.

"Sakha, aku mau bicara!" teriaknya kesal.

Alma menghela napas jengah, pemuda itu ternyata memang tidak ada. Namun, baru saja ingin pergi suara biola terdengar dari belakang membuatnya langsung berbalik melihat.

"Sakha?"

Permainan biola dihentikan, Sakha berjalan menghampiri. "Tunggu siapa?"

"Siapa lagi, ya, kamulah. Aku mau bilang, kalau aku mau mencobanya lagi." Hanya anggukan yang Alma terima, membuat keningnya sedikit berkerut. Bingung, juga merasa aneh. Ada apa dengan Sakha? Tiba-tiba tak langsung mengajak ke koridor, untuk mencoba memancing orang misterius itu muncul. Tak seperti pagi tadi, sama sekali tidak seperti itu.

"Duduklah, aku mau bermain biola."

"Sakha, ish!"

"Setahuku, mendengarkan musik bisa membuat pikiran jadi lebih tenang." Sakha mulai memainkannya lagi, seolah-olah tak mempedulikan Alma yang cemberut di sampingnya. Entahlah, apa maksud dari Sakha saat ini? Alma tidak tahu dan tidak mau tahu.

Alma melipat tangan seraya melihat ke depan. Cukup lama, sampai musik itu berhenti. Sakha menaruh biola, mulai memperhatikannya.

"Kenapa?"

"Aku mau mencobanya lagi." Alma mengalihkan pandangan, melihat Sakha. Anggukan kembali didapat Alma, tetapi sekarang berbeda. Sakha mulai terlihat serius menanggapi.

"Kita akan coba lagi, tapi caranya nggak seperti tadi pagi."

Ya, ada hal baru yang telah Sakha pikirkan. Memancing memang mampu menghadirkan, tetapi masih belum mampu membuat Sakha melihatnya dengan mudah. Karena itu, dia sudah menyiapkan rencana lain.

"Apa maksudmu?"

Sakha tersenyum tipis, lalu meraih kembali biolanya. Walau senyuman tipis, tetapi Alma masih berhasil dibuat bergidik. Sekarang Sakha sangat aneh!

Argia (Tamat)Where stories live. Discover now