17. Ibarat Sistem Cermin

512 66 15
                                    

Motor baru saja dimatikan dan Alma segera berlari masuk ke sekolah, sebab hujan baru saja mengguyur dan kalau dia tidak lari maka pasti akan basah. Bukan hanya dia, tetapi anak lain juga berlari agar tidak kebasahan.

Berjalan menuju kelas terasa begitu dingin, hawa seperti menusuk sampai ke tulang. Alma sampai terlihat mendekap tubuh sendiri sambil berjalan. Untung saja sebelum berangkat, ibunya sudah berpesan untuk membawa jaket atau dia akan merasa kedinginan.

Alma berhenti, bergegas mengambil jaket dari dalam tas. Tentu saja warnanya tidak jauh dari warna favorit. Hijau muda, bercampur warna putih pinggirannya. Tidak ada gambar atau tulisan, simpel dan pasti dapat sedikit menghalau serangan dingin dari sebelumnya.

Alma kembali melanjutkan langkah menuju kelas. Cukup kosong, hanya sedikit yang sudah hadir. Wajar, karena ini juga belum pukul tujuh tepat. Pagi juga, ya, Alma datang. Tentu sebuah perhitungan matang akan membawa dampak baik juga, 'kan? Begitulah Alma.

Sejak semalam, dia berniat untuk datang lebih awal. Mengingat jadwal piket tentunya. Kalau datang hampir setengah 8 pasti orang sudah absen, dan dia akan kewalahan menyapu. Alma juga ingat dan sangat sadar, kalau dalam hal ini para teman laki-lakinya tidak bisa diandalkan. Selalu mengambil kesempatan sekecil apa pun, untuk kabur dari tugas yang seharusnya mereka kerjakan.

Namun, mata Alma membulat. Suara meja terdengar dari sudut kanan. Seperti disusun dan ketika berbalik, benar saja. Seorang pemuda dengan tinggi tubuh di atas rata-rata pemain basket pada umumnya terlihat sibuk menyusun meja. Suatu keajaiban, entah apa yang menggerakkan hatinya?

"Nyapu, jangan bengong aja!"

Mendengarnya, Alma langsung tersadar dari lamunan pagi hari. Sesegera mungkin, Alma mulai menyapu dari paling belakang dan sudut, lalu ke depan. Kemudian membawa ke samping mengumpulkan di sudut. Saat Alma mau menunduk untuk memungutinya, suara dari samping terdengar.

"Eh, biar aku saja. Lanjut sapu depan kelas aja, biar aku urus ini."

Sekali lagi, sukses membuat Alma takjub. Pemuda satu ini, memang berbeda. Alma mengangguk dan pergi ke luar untuk menyapu. Cuacanya sedikit berangin usai hujan, dingin. Namun, Alma masih berusaha fokus dengan tugasnya menyapu.

"Eh, eh, lihat. Rajin banget anak orang," ucap Zalfa yang berjalan menuju kelas bersama Aiyra. Membuat Alma sejenak menoleh dan berusaha kembali fokus.

Melihat sikap Alma yang tak acuh, membuat Zalfa kesal dan jangan ditanya, apakah dia kesal untuk itu saja? Tidak. Hampir setiap hari gadis satu ini kesal pada Alma, terlebih kalau mendengar cerita dari teman-temannya kalau Alma itu cocok sama Azlan.

Zalfa yang sudah berdiri tepat di depan kelasnya, berjalan ke arah berbeda. Dia tak masuk, melainkan membuat masalah. Zalfa sengaja mengacaukan apa yang Alma sapu.

"Zalfa, apa'an sih!"

"Kamu yang apa-apa'an, hah!"

"Aku mau nyapu, pindah!" Dorongan halus, juga titah dari Alma membuat Zalfa merasa dilawan. Dia meradang dan balik mendorong jauh lebih kasar, sampai tubuh Alma terhempas ke dinding yang berada di belakang.

"Nyadar, dong! Kamu di sini murid baru, murid pindahan. Nggak usah belagu, ya, jadi orang!"

Suara bising itu, sampai di telinga Radit yang tengah sibuk menghapus tulisan di papan tulis. Aktivitasnya terhenti, bergegas menuju luar kelas dan mendapati Zalfa yang menjambak rambut Alma.

"Astagfirullah, pagi-pagi udah bikin ribut aja, nih, Mak Lampir. Woi, udah!" Radit bergegas menghampiri dan melerai. "Nyebut, woi! Kerasukan jin tomang jangan gini banget, lah!" kesalnya.

Argia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang