13. Pergi

583 76 0
                                    

"Sudah pulang, bagaimana sekolahmu?" Baru saja Azlan melangkahkan kaki ke dalam rumah, suara papanya sudah terlebih dahulu menyapa.

Senang akan disapa, memang benar. Namun, Azlan tahu pasti papahnya tentu punya maksud menyapa. Entahlah, Azlan menanggapi dengan deheman pelan khas orang yang terlihat sedikit lelah.

"Oh, iya, sudah minta maaf dengan Zalfa?"

Hah! Zalfa, ada apa ini? Azlan sontak menghentikan langkah. Seketika emosinya naik drastis, tangan terkepal kuat. Tak cukupkah dengan penolakan yang dikatakannya berkali-kali? Azlan tidak mau dijodohkan! Azlan tidak menyukai Zalfa!

Berteriak dalam hati, sepertinya kesalahan. Bukan kepuasan justru perih makin terasa. Terus-menerus memikirkan bisnis, itulah papanya.

"Kenapa harus minta maaf?" Azlan mencoba menahan emosi, menjawab papanya.

"Hai, pertanyaan macam apa itu Azlan? Ya, Kamu harus minta maaf karena sudah memutuskannya."

Azlan menghela napas pelan. "Sayangnya Azlan tidak melakukannya, sampai hari ini."

"Kamu ini bagaimana? Ayah Zalfa bertanya pada papamu ini, Nak." Papa Azlan berjalan menghampiri. "Dengar, sekarang pergi dan minta maaf, ya."

"Sekali saja Papa dengarkan Azlan, sekali saja mengerti kalau Azlan nggak suka Zalfa. Nggak pernah ada rasa," ucapnya penuh penekanan, tetapi masih dengan nada sedang dan terdengar tegas.

"Ini untuk kebaikanmu, lakukan sekarang!" titahnya tak mau dibantah.

Azlan menggeleng pelan menanggapi perkataan papanya. "Maaf, Pa, tapi Azlan nggak bisa untuk nurutin kemauan Papa yang satu ini."

"Harus! Kamu harus nurutin papa, harus! Sekarang pergi dan minta maaf padanya!" ucapnya lagi penuh penekanan. Nada terdengar tinggi.

Kesal! Itulah yang Azlan rasakan. Berlama-lama di sini hanya akan menambah daftar sakit hati. Azlan mengangguk pelan, memantapkan diri. Kemudian melihat sang papa.

"Azlan akan pergi, tapi tidak untuk meminta maaf padanya. Melainkan pergi dari sini!" Azlan mengambil langkah besar, lalu berjalan mundur. Membuat sang papa terlihat sangat emosi.

"Azlan, mau ke mana kamu?!" Masih tak ditanggapi. Azlan segera keluar menulikan pedengarannya. "Azlan kembali!"

Terlihat mobil berwarna merah berhenti tepat di depan rumah. Seorang wanita paruh baya, dengan stelan jas kerja dan kacamata hitam bertengger manis itu, keluar. Melihat bingung pada putranya yang keluar dengan raut wajah kesal.

"Azlan, ada apa, Nak?" Mama Azlan segera menghampiri, menghentikannya. "Kamu kenapa?"

"Mama tanyakan saja pada Papa," lirihnya tanpa menoleh ke belakang.

"Rena, bawa dia masuk!" perintahnya.

"Ada apa, Mas? Kalian kenapa lagi?"

"Dia nggak mau minta maaf dengan Zalfa, pasti kamu tahu kalau saham akan hilang jika Azlan tidak bersama Zalfa."

Azlan berbalik, melihat dengan raut yang masih kesal. "Azlan nggak mau, Pa."

"Harus! Papa ingatkan sama kamu, ya, perusahaan Papa akan menurun jika saham mereka dicabut."

"Azlan tetap nggak mau, Pa."

"Azlan!"

"Ini pada kenapa, sih? Cukup, stop! Mama nggak suka, ya, kalau kalian berdua terus bertengkar!" Rena menunjukkan lima jari tepat di depan keduanya.

Azlan diam, tetapi tidak dengan perasaannya yang merasa sakit bercampur kesal. Tanpa mengatakan apa pun, dia berbalik berjalan cepat meninggalkan rumah tanpa menaiki kendaraannya.

Suara teriakan dari papa juga mamanya tak dipedulikan Azlan. Jalannya makin cepat. Bahkan, dia berlari ke luar gang rumah agar lebih cepat. Mata yang menyorot ke depan dengan keterdiaman yang begitu dalam, Azlan ingin sekali melimpahkan kekesalan, tetapi tak tau harus di mana.

"Argh!" geramnya setelah berdiri di ujung gang. Mulai berjalan di pinggir jalan, menuju halte dekat sana.

***

Malam hari dengan cuaca dingin, sedikit menusuk kulit mulus milik seorang gadis tak lain adalah Alma. Ya, malam ini dia dan kedua orang tuanya sedang makan malam di sebuah warung makan pinggir jalan yang menjadi langganan dan difavoritkan ketiganya.

Alma sangat senang makan di sana. Apa yang dikatakan orang kalau seorang pengusaha makan dipinggir jalan? Mungkin akan sedikit terdengar aneh! Namun, tidak dengan ayah Alma. Menikmati sajian makanan pinggir jalan pun akan terasa nikmat ketika bersama keluarga.

Jangan melihat tempat yang berada di pinggiran, tetapi lihat kualitas dan menu di sini. Begitu menggugah dan tak kalah dengan restoran berbintang lima. Walau pinggiran, perlu diingat kalau tempat mereka telah aman dari keramaian dan serbuan geng bermotor sekalipun. Cukup sepi nan strategis. Setidaknya, banyak pejalan kaki yang mampir dan membeli.

Mengapa dipinggir jalan, tetapi sepi? Ya, sebab orang yang melewati warung makan itu, harus memutar arah terlebih dahulu. Kecuali yang memang berniat makan tak perlu memutar, sebab cukup dengan berjalan kaki untuk ke sana.

Ada banyak menu di sana, banyak gorengan, makanan berkuah, roti, minuman dan juga menu andalan sate ayam dengan bumbu kacang kesukaan Alma. Wanginya begitu memancing mulut agar segera memakan.

Bukan hanya makan, Asraf membawa putrinya ke sini agar Alma dapat sejenak melupakan tentang kejadian di sekolahnya. Setelah pulang sekolah, Sakha terlihat mengiringi Alma dalam bermotor, pasti ada masalah dan benar, Alma habis pingsan. Jadi, dengan begini Alma setidaknya bisa happy kembali.

"Alma, bagaimana makanannya? Enak?"

Alma mengangguk antusias. Dia meraih tusuk sate ke empat. Memakannya dengan lahap.

"Makannya pelan-pelan, Alma." Delara membersihkan sudut bibir Alma dengan tisu.

"He he, baik, Bu."

Usai makan, Alma segera minum es teh miliknya. Sembari memakan roti bakar yang sudah tersaji juga. Lelehan cokelatnya, begitu nikmat saat masuk ke mulut.

Asyik makan, matanya menangkap sosok pemuda yang juga makan tak jauh darinya. Seragam sekolah terlihat masih melekat sempurna, tak lupa tas yang telah ditaruh di samping.

Alma menghentikan makan, mengingat-ingat. Merasa tak asing dengan tas tersebut, sampai akhirnya nama Azlan muncul.

"Azlan, kok masih pakai seragam?" lirihnya lalu melihat ayah dan ibunya bergantian. "Hm, Ayah, Alma ke sana bentar, ya. Bu, Alma ke sana sebentar," ucapnya sesekali menunjuk tempat kosong tak jauh dari Azlan.

Asraf mengangguk. "Baiklah, sebentar saja, ya."

"Pergilah, tapi ingat, hanya sebentar." Delara tersenyum.

Alma mengangguk dengan senyum manis. Dia segera membawa sepiring roti yang tadi, dengan segelas es teh. Kemudian membawanya menuju tempat duduk pemuda yang masih asyik makan di sana. Hanya sebentar? Namun, seperti akan berlama-lama karena Alma bawa makanan dan minuman, membuat ayah dan ibunya menggeleng pelan, heran juga tak percaya.

"Dia kayaknya mau ke pemuda itu," ucap Asraf.

"Kayaknya, nggak apa, deh. Mungkin Sakha," ucap Delara diangguki oleh Asraf.

"Mungkin, ayo makan lagi," ucap Asraf dan Delara pun tersenyum mengangguki.

***

Alma menaruh piring dan gelasnya tepat di samping Azlan. Membuat pemuda itu menoleh sejenak. Piringnya digeser menjauh, mengikuti tubuh yang juga bergeser. Melihat itu, Alma kembali menggeser pelan piringnya. Namun, Azlan kembali menggeser.

Tiga kali Alma berbuat usil, sampai akhirnya Azlan yang belum tahu kalau itu adalah Alma, langsung menggebrak meja dengan kasar.

Argia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang