20. Salah Paham

429 57 0
                                    

Usai menemui Sakha, Alma bergegas ke kantin seperti pesan yang dikatakannya pada Luna. Setelah masuk, Alma segera menghampiri Luna yang sedang asyik makan.

"Lun!" panggilnya lalu duduk.

"Sudah selesai?" Luna menggeser mangkuk miliknya, memperhatikan Alma yang tampak tersenyum.

"Sudah. Oh, iya, bagaimana?"

"Apa yang bagaimana?"

"Sudah terima Arga?"

"Astaga, Alma!" Luna kembali mengambil mangkuk mulai makan lagi, mengabaikan Alma yang terkekeh. Lebih baik makan daripada harus mendengar pembahasan tentang Arga.

"Iya, iya, nggak." Alma mengalah, dia pun pergi memesan makanan. Saat tengah menunggu pesanan, Alma melihat Zalfa yang sedang berusaha mendekati Azlan, tetapi pemuda itu terus saja mengusir.

"Nak Alma, ini pesanannya," ucapan dari samping langsung membuat Alma menoleh.

"Oh, iya, Bu. Terima kasih." Alma segera mengambil lalu berjalan ke tempat duduknya kembali.

Kini, kedua gadis itu asyik makan tanpa adanya Nabila. Ya, hari ini Luna mendapat surat dari salah satu teman yang tinggal hampir dekat, dengan rumah Nabila. Isi surat itu adalah surat keterangan kalau Nabila sedang sakit, Luna membacanya setelah guru menaruh surat tersebut ke atas meja. Tentu sudah lebih dahulu dibaca oleh guru.

"Oh, iya, nanti kita langsung mampir ke rumah Nabila atau ganti baju dulu?" tanya Alma.

"Hm, ganti baju dulu. Sekalian pamit sama orang tua."

"Hm, boleh. Terus ketemuan di mana?" tanya Alma lagi.

"Dekat lampu merah yang mau ke arah sekolah. Tahu, 'kan?"

"Itu, tahu. Oke, kita ketemu di sana."

Luna tersenyum dan kembali memakan makanannya. Begitu juga dengan Alma.

***

Usai makan, Luna pamit untuk pergi mengambil buku paket. Sebab guru satu ini tak mau menunggu. Kalau sudah tahu ada jam pelajarannya, maka salah satu murid harus langsung pergi mengambil buku paket lima menit sebelum bel masuk berbunyi. Karena menurutnya, time is money, juga disiplin waktu adalah salah satu hal yang harus dimiliki oleh seseorang.

Sementara Alma, gadis itu asyik berjalan mengikuti Azlan sejak dari kantin. Dia ingin bicara, tetapi ada Zalfa. Jadi, Alma harus mencari celah.

Tepat di depan perpustakaan, Zalfa sudah tak terlihat karena sibuk memperbaiki dandanan. Alma segera berjalan cepat, lalu memegangi tangan Azlan dengan erat. Membuat pemuda itu menghentikan langkah, menoleh, dengan perasaan terkejut.

"Mau apa? Lepas!" Azlan menghempas kasar tangannya, memandang dengan wajah tak suka. "Jadi, sejak tadi Kamu mengikutiku?"

Alma menghela napas. "Iya, aku ngikutin Kamu. Dengar, aku hanya mau bilang." Alma membawa tangannya mengusap bahu Azlan pelan, terlihat pemuda itu menyingkir dan perlahan Alma menurunkan tangannya.

"Apa!"

"Kamu yang sabar, ya. Aku yakin semua akan baik-baik saja." Alma tersenyum.

"Kamu sudah gila, ya? Ih!" Azlan berbalik, dengan cepat Alma langsung berada di hadapannya. Membuat tubuh Azlan langsung mundur selangkah sangking terkejutnya. "Alma!"

"Aku tahu, kok, kamu masih belum terima ayahmu bangkrut. Nggak masalah, aku yakin semua akan baik-baik saja. Ayahmu akan sukses lagi."

Mendengar itu Azlan mengerutkan kening. Kenapa Alma berpikir kalau ayahnya bangkrut?

"Nggak, ayahku nggak bangkrut, kok."

Alma menggeleng pelan. "Aku sudah tahu semuanya. Jadi, Kamu nggak perlu lagi menutupinya dariku, oke." Tepukan pelan di bahu Azlan, langsung membuat pemuda itu melirik ke arah bahunya.

Hanya dalam hitungan detik, Azlan kembali melihat Alma. "Ayahku masih bekerja, dia nggak bangkrut."

"Masih mau mengelak? Astaga!" Alma merangkul menariknya, membuat pemuda itu sedikit membungkuk. Wajahnya cukup dekat, dengan wajah Alma. "Dengar, aku melihatmu naik ojek online. Jadi, sekarang jangan menyembunyikan apa pun lagi, hm? Pokoknya, sekarang Kamu harus terus semangat! Yakin, kalau semua akan baik-baik saja."

Pandangan mereka beradu, tetapi tak begitu lama. Hanya beberapa detik dan Azlan langsung menurunkan tangan Alma, lalu berdiri tegak.

"Pantas saja Alma berpikir begini," ucapnya membatin. Tampaknya Alma sudah salah paham tentang tadi, kalau tidak tinggal di rumah, iya, tetapi kalau ayahnya bangkrut, itu masih menjadi hal langka. Bukan Azlan mendoakan, tetapi tampaknya menjadi orang kaya telah membuat ayahnya gila harta sampai lupa perasaan anaknya sendiri.

Seketika, Azlan masih harus terkejut. Ketika Alma menangkup wajahnya, membuat pandangan mereka bertemu. Ya, kali ini Alma tak merasa apa pun saat memandang, sebab menurut Alma inilah masalah Azlan. Masalah yang membuatnya sedih, barangkali dengan semangat seperti ini Azlan bisa menjadi lebih baik.

"Dengar Azlan, yakin kalau semua akan baik-baik saja. Ingat itu, baik-baik saja, baik-baik saja."

Bak sebuah gema dalam goa, Alma mengulang perkataannya sebanyak tiga kali. Bahkan, jika lebih akan diulang. Akan tetapi, takut Azlan bosan.

"Ish, ayahku nggak bangkrut!" Azlan bergegas pergi, setelah berdiri tegak. Jika terus berlama-lama di sini, Alma pasti akan semakin tak waras. Ingin memberi tahu yang sebenarnya pun tak mungkin, sebab Azlan yang tak mau bicara. Bukan hanya Alma, beberapa teman yang sedikit dekat dengannya juga tak ada yang diberitahu.

"Eh! Malah pergi." Alma tak mengejar, dia hanya melihat kepergian Azlan yang perlahan menghilang dari balik tembok. "Aku harap Kamu bisa melewati ini Azlan, semangat!" ucapnya walau mengetahui Azlan tidak mendengarnya, tetapi Alma tetap mau mengatakan itu.

Masih di sana, dari belakang Luna tampak memanggil. Membuat Alma berbalik. "Eh, Lun?"

"Hm, ngapain masih di sini? Ayo ke kelas!" ajak Luna, gadis itu sama sekali tak merasa berat dengan barang bawaannya.

"Iya, yuk!" Alma pun bergegas mengikuti, sambil berjalan beriringan.

Bukannya langsung masuk, mereka harus tertahan karena ada Arga di depan pintu kelas. Tersenyum melihat Luna.

"Eh, My Luna. Sini, biar kubantu." Tanpa persetujuan Luna, Arga langsung mengambil alih buku paketnya. "Duduk aja, gih. Biar aku yang bawa ke meja."

Luna tampak kesal! Wajah putihnya, sedikit memerah akibat Arga. Namun, pemuda itu sudah berjalan menuju meja guru yang ada di kelas.

"Sudah, malah bagus lagi, Kamu nggak usah capek bawa bukunya," ucap Alma.

"Iya, tapi tetap aja menyebalkan!" lirihnya, memberi tatapan kesal ke arah Arga.

"Sudah, yuk!" Alma menarik tangan Luna, membawa gadis itu menuju tempat duduknya. Setelah Luna duduk, Alma pun juga ikut duduk.

Arga memberi jempol pada Luna, tanda kalau buku paketnya telah sampai dengan selamat. Tampak Radit mengangkat tangan, memberi jempol pada Luna juga.

"Barangkali Kamu nggak lihat tangan Arga, nih, aku sampaikan biar jelas kelihatan," oceh Radit.

"Diam!" Luna memukul meja sekali, membuat semua yang ada di dalam kelas langsung diam, lalu memandang ke arah Luna. Bukan hanya mereka yang diam, tetapi rumput bergoyang pun langsung terasa kehilangan embusan anginnya, sehingga ikut terdiam.

"Lun, mereka pada perhatiin Kamu," lirih Alma, membuat Luna perlahan memperhatikan sekeliling.

"Eh, bukan kalian, tapi Arga dan Radit aja." Luna menghela napas, setelah mengatakan itu dia pun duduk.

Tampak guru sudah masuk. Luna merasa lega dengan itu, karena dengan begini Arga bisa mengurangi gangguannya kepada Luna. Sementara itu, Alma mulai memperhatikan guru di depan.

Argia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang