25. Waktu

401 44 0
                                    

"Apa yang terjadi padaku? Jawabannya adalah sebuah keanehan. Aku tidak tahu apa penyebab dan apa sebabnya. Semua membuat bingung, semuanya. Bahkan, orang tuaku sendiri bingung dengan ini. Tidak ada siapa pun yang pernah melihat selain aku."

Ucapan Alma semalam, saat berbincang melalui telepon terus terngiang dipikiran Sakha. Apalagi sekarang, saat melihat gadis itu asyik makan bersama Nabila di kantin pagi ini. Beruntung dia tak lagi sendiri, karena salah satu dari kedua teman terdekatnya sudah masuk sekolah.

"Kamu menanyakan apa ada orang yang menggangguku? Ya, ada. Ada, tetapi hanya aku yang bisa melihat. Semua tidak percaya dan hanya akan percaya kalau ada bukti nyata, yang dapat dilihat banyak orang. Bukan hanya sekadar pengelihatan, atau perasaanku tentang kehadirannya."

Sakha menghela napas pelan, lalu berbalik. Berjalan meninggalkan area itu. Jujur, mendengar penjelasan Alma membuatnya ikut bingung. Sangat tidak mungkin, jika itu dilakukan oleh orang yang cuman iseng. Sakha yakin, kalau dia pasti memiliki motif kuat di baliknya, entah apa?

Cerita tentang kejaran yang terjadi saat pulang sekolah. Semua itu, memang benar seperti ilusi. Wajar, jika sangat sedikit yang percaya dan lebih percaya kalau semuanya mengarah pada hal yang mengada-ada saja.

Sakha duduk di kursi taman. Ya, saat ini pemuda itu telah berada di tempat yang paling sering didatangi. Mengingat setiap bagian cerita Alma dan membandingkan dengan yang sekarang, semuanya masih memiliki kesamaan.

Bukan hanya itu, ada juga perbedaan dan perbedaannya adalah, sekarang peneror atau pengejar itu muncul di mana saja, tidak lagi hanya pulang sekolah. Lalu, apa yang dapat membuktikan keberadaannya ilusi atau nyata? Sakha meraih tas miliknya, mencari sesuatu yang berada di sana.

***

"Sakha, Kamu belum jawab pertanyaanku kita mau ke mana?" Alma terus bertanya tentang mau dibawa ke mana dia, tetapi pemuda itu terus saja melangkah tanpa henti.

Sampai akhirnya, dia berhenti di sebuah koridor yang cukup jarang dilewati orang. Dekat dengan roftop, tetapi belum sampai ke sana. Jarang karena anak-anak lebih sering ke kantin daripada ke roftop.

"Sakha, ish! Kalau bilang mau ke sini, aku nggak bakal tanya terus kayak tadi."

"Sshut, jangan berisik." Sakha melirik sekeliling sekali, lalu kembali melihat Alma. "Ada yang terus mengganggumu, 'kan? Aku menyadari kalau sekarang dia muncul di mana saja dan kurasa, dia mengawasimu."

Alma mengerutkan kening, bingung dengan apa yang Sakha katakan, tetapi kalau dipikir memang benar. Buktinya, waktu itu pingsan karena merasa orang itu muncul dan tempatnya Alma di koridor, belum pulang sekolah.

"Kita butuh bukti nyata, 'kan? Sekarang aku mau, kamu harus bisa menaklukkan rasa takut yang ada pada dirimu."

"Jadi, maksudnya kamu nyuruh aku mancing dia datang?" Mata Alma terbelalak, tak percaya dengan perkataan Sakha barusan.

Anggukan terlihat jelas oleh Alma, membuat gadis itu menggeleng sekali. "Sakha, kamu tahu aku takut. Aku nggak mau."

Sakha memegang kedua bahu Alma, melihat gadis itu. "Ayolah, kamu percaya padaku, 'kan? Aku yakin kita bisa membuktikannya."

Alma menghela napas, pelahan menyingkirkan kedua tangan Sakha dari bahunya, lalu melihat Sakha. "Aku tahu kamu mau membantu, tapi aku nggak bisa melawan ini. Aku takut."

"Aku tahu kamu bisa."

Alma memejamkan matanya sejenak, semua bayangan saat dia dikejar. Perasaan takut yang timbul dan luka saat terjatuh, ketika berusaha menghindari pengejar tersebut. Isakan, juga teriakannya semua yang dirasakan, yang seolah-olah hanya terdengar oleh ayah dan ibunya ketika berada di rumah. Semua itu dengan cepat terputar.

Argia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang