7. Tampak Meradang

992 125 16
                                    

"Ish! Duduk Sakha," ucap Alma yang telah duduk, tetapi Sakha masih berdiri memandang dengan keheranan. Tentu saja, sebab Alma tiba-tiba saja muncul.

"Kamu kenapa bisa di sini?"

"Ish! Ayo duduk dulu, ayolah!" ajak Alma tanpa peduli dengan perkataan Sakha. Namun, pemuda itu masih tetap berdiri dan memandanginya.

Alma mengerucutkan bibir, kesal dengan pemuda satu ini. Dia pun menyipitkan mata dan seketika menarik Sakha untuk duduk.

Sakha yang tak siap dengan itu, langsung saja hampir terjatuh mengenai Alma. Akan tetapi, sesegera mungkin dia menahan tubuhnya agar tak mengenai Alma, lalu duduk.

Alma tersenyum melihat lalu mulai membawa bekal yang tadi. Kemudian membukanya hati-hati. Sementara Sakha, memperhatikannya dengan diam. Masih heran, siapa yang memberitahunya kalau dia ada di sini?

"Aku sengaja menemuimu untuk ini. Aku buatkan untukmu, khusus." Alma melihat Sakha sekilas lalu kembali melihat makanannya. Dia mengambil dan mulai menyendokkan untuk Sakha.

"Untukku, kenapa?"

"Kamu sudah tolongin aku kemarin, 'kan? Nah, ini aku buatin sebagai tanda terima kasih." Alma arahkan sendok berisi makanan itu perlahan ke mulut Sakha, tanpa menolak Sakha pun memakannya.

Tentu ketika dia menolak, Alma bisa saja sedih. Maka dari itu, menghormatinya dengan memakan hasil masakannya, mungkin adalah langkah terbaik.

"Bagaimana?" Alma tampak antusias dengan komentar Sakha untuk hasil masakannya.

Bagaimana tidak, semalaman begadang hanya untuk memikirkan mau memasak apa untuk Sakha? Kemudian setelah berpikir tentang itu, paginya Alma mulai memasak dibantu Delara, ibunya.

Sakha terlihat mengangguk-angguk. "Enak." Satu kata yang sukses mengukir senyum indah pada bibir gadis itu.

Namun, memang benar. Masakan Alma enak. Ada sesuatu yang menariknya, ketika mengalihkan pandangan ke rambut Alma. Sebuah jepit rambut berbentuk biola, berwarna hijau.

"Loh, dapat dari mana jepit seperti itu?"

"Oh, ini, aku dapat dari tokolah." Alma terkekeh renyah.

"Huh! Baiklah," ucap Sakha mengalah.

"Hm, ayo mainkan biola itu untukku! Sekaliii saja," ucapnya. "Untuk hari ini, barangkali besok juga?"

"Biola? Boleh, aku akan mainkan." Berdiri.

"Apa kamu juga pandai bermain gitar?" tanya Alma lagi.

"Sedikit, tapi aku lebih suka biola."

"Begitu, baiklah." Alma mengangguk paham.

"Iya, hm, apa kamu sudah tahu siapa yang menguncimu di perpus?" Sakha membawa biolanya.

"Itu, belum." Alma menggeleng.

"Zalfa yang menguncimu." Sakha melihat Alma yang terlihat serius dengan itu.

"Zalfa, apa karena Azlan terlihat cukup dekat denganku kemarin?"

"Aku tidak tahu, tapi sekarang kamu sudah merasa baikan?"

Alma tersenyum. Dia lalu menggangguk. "Iya, aku sudah baikan. Sudah tidak masalah lagi, kok."

"Aku senang mendengarnya." ucapan Sakha kembali membuat Alma lagi dan lagi tersenyum.

Kini, Sakha kembali menghampirinya. Duduk sedikit jauh, lalu mulai memainkan biola itu untuk Alma. Sangat indah dan mendayu, memberi sensasi tenang pada pendengarnya.

"Jika dia jodohku, aku rela menikah dengannya suatu hari nanti."

-Almaira Mahveen-

Argia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang