35. Menolak Dalam Kendali

298 39 0
                                    

"Bukan kita yang menentukan jalannya skenario kehidupan, tetapi yakinlah. Bahwa, akan ada titik terang ketika kamu berada dalam adegan yang penuh dengan ujian."

~Sakha Athafariz~

________

Ada percikan, ya, dan Alma merasakannya. Percikan yang seperti akan menimbulkan cahaya terang. Perkataan Sakha seperti hal tak terduga, bukan main. Memberi harapan baru, juga menghadirkan pembuktian kalau semua yang selama ini dilihat adalah kenyataan.

Ayo Alma! Meragukan diri-sendiri mungkin boleh-boleh saja, asal dalam hal positif agar sifat kesombongan setidaknya dapat terkendali. Namun, jika keraguan telah berada pada hal negatif apa itu masih bisa ditolerir, diberi tempat, dan dijaga? Tidak! Alma memejam, menggeleng pelan, menolak keraguan berlama-lama mengendalikan pikiran dan perasaan. Kemudian, dalam waktu tiga menit kembali membuka mata.

Alma mau mendengar Sakha mengatakan hal tersebut, mengatakan kalau dia memang melihatnya. Alma ingin mendengar ucapan, yang mana benar-benar menghadirkan keyakinan itu. Menipiskan keraguan, sehingga dinding keyakinan yang jauh lebih kuat dari sebelumnya, berdiri di atas setiap kebimbangan.

"Katakan, katakan kalau kamu memang melihatnya. Katakan, kalau kamu memang melihat orang itu, Sakha." Nada yang terdengar pelan, tetapi jelas.

Tanpa perlu berpikir panjang, Sakha langsung paham dengan ucapan Alma. Sakha tahu kenapa Alma ingin dirinya mengatakan hal tersebut, pasti untuk menghilangkan keraguan yang sejak semalam hadir. Tanpa penolakan Sakha akan menuturkannya, sebab dia memang melihat dan itu bukan kebohongan, melainkan sebuah kejujuran, juga kenyataan.

Memikirkan ilusi yang mampu bertahan lama, mungkin bisa saja. Kalau dia memang telah memikirkannya dengan matang. Akan tetapi, setiap sisi telah Sakha pasangi cermin dan kalau ada hal yang mencurigakan, setidaknya Sakha dapat menemukan cela untuk tahu. Astaga! Memang rencana licik yang mampu membuat seseorang berpikir kalau itu, hanya khayalan saja.

Bukannya apa, harus sadar kalau sekolah ini memiliki cctv dan siapa yang akan menyangka, kalau saat ini dia sukses muncul tanpa suara. Siapa yang akan menyangka, dia muncul tanpa menciptakan kegaduhan dari penjaga cctv. Hebat bukan? Permainannya rapi, sangat rapi, tetapi sekarang tidak akan begitu.

Sakha kembali mengarahkan netra ke arah cermin tersebut, lalu mengangguk. "Iya, aku melihatnya, ya, walau melalui cermin yang kupasang, tapi ini jujur. Aku melihatnya Alma."

Ucapan yang wah! Alma tak dapat menjelaskan perasaan senang bercampur lega yang hadir. Kedua sudut bibir terangkat, Alma tersenyum.

Apa ini mimpi, apakah yang Alma alami saat ini merupakan mimpi? Kalau iya, jangan meminta Alma bangun lebih awal, sebab dia masih mau berada dalam posisi di mana, ada orang lain selain dirinya yang melihat orang misterius tersebut. Akan tetapi, kalau ini adalah nyata? Maka, jangan tergesa-gesa meminta Alma untuk segera meninggalkan tempat tersebut.

Untuk sekali saja, Alma ingin kembali mendengar ucapan Sakha. "Katakan, katakan sekali lagi kalau kamu memang melihatnya Sakha."

"Iya, aku melihatnya."

Embusan napas terdengar, kelegaan yang menyentuh puncak. "Jangan ragu lagi, Alma," batinnya.

Pilihan untuk mulai yakin tentang diri-sendiri menjadi akhirnya. Tidak tergesa-gesa, sebab sejak semalam Sakha sudah meminta untuk percaya. Menolak dalam kendali. Ya, Alma akan berusaha menghilangkan keraguannya tentang dia yang punya penyakit, mengganti dengan kepercayaan tentang orang misterius, yang memang ada dan bukan ilusi.

"Alma?" Suara dari seberang sana, mencoba kembali berkomunikasi pada Alma. Akan tetapi, Alma masih terdiam dengan segala macam pemikirannya.

Satu detik, dua detik, sampai beberapa detik lagi berlalu suara dari handsfree akhirnya berhasil menyadarkan. Segera menaruh kembali cermin ke saku.

"Alma?" Suara yang untuk ketiga kali, membuat Alma akhirnya merespon.

"Iya, maaf, aku sempat melamun."

"Nggak masalah, sekarang dengarkan aku, ya. Ponsel, ponsel yang tadi aku berikan padamu sekarang buka kamera videonya."

"Kamera video?"

"Iya, dengar, kita harus punya bukti dan sekarang adalah kesempatan untuk mendapatkan bukti itu."

Setelah mengalihkan pandangan pada beberapa cermin lain untuk melihat kondisi, adakah murid yang akan ke sini atau tidak. Setelah dipastikan aman, Sakha kembali mengarahkan pandangan pada cermin yang memperlihatkan orang tersebut. Dia masih di sana, berdiri diam seperti patung.

"Alma, langsung video saja, langsung arahkan ke orang itu."

Mendengarnya membuat Alma mengangguk. Hari ini, Sakha bisa melihatnya. Akan tetapi, itu belum bisa menjadi jaminan orang lain akan mempercayai perkataan keduanya. Mereka tetap harus mempunyai bukti lebih kuat, yang memiliki kemampuan untuk mengunci siapa saja yang ingin menyangkal. Bukti memang selalu memiliki peranan luar biasa.

Sesegera mungkin, Alma mengambil ponsel dari saku rok, mengutak-atik lalu membuka kamera video. Saat ini, perasannya menjadi sedikit tegang. Menarik napas, perlahan mengembuskannya. Mata masih tertuju pada ponsel, memegang erat.

"Aku bisa melakukannya, aku akan melakukannya," lirih Alma dan masih memperhatikan ponsel tersebut. Dari seberang, Sakha diam mendengar apa yang keluar dari bibir Alma, sambil sesekali memberi semangat pada gadis itu. Sesekali dia juga terus mengarahkan netra pada cermin yang memperlihatkan posisi orang misterius tersebut.

Tidak akan bisa kabur lagi. Sakha akan melepas sematan itu, membawanya pada pihak berwajib sambil menyerahkan bukti tersebut. Mengembalikan kepercayaan banyak orang, yang mungkin pernah menjadi tempat Alma bercerita, tetapi tidak didengar.

Namun, kalau ada yang ingin mengambil alih untuk membawa ke kantor polisi, Sakha tidak masalah. Justru, menurutnya itu akan semakin bagus. Tentu dengan begitu, kehadiran orang misterius yang nyata tersebut tak akan diragukan. Bisa saja mereka berdalih, kalau ini cuman akal-akalan saja. Akan tetapi, kalau orang yang jauh lebih dewasa membawanya, semua akan lebih dipercaya.

Sakha ingin lihat, seberapa jauh kebohongan berpihak pada pelaku dan seberapa jauh, kebenaran berada di tangan korban. Hal terkuat pada sebuah kasus ialah bukti, tetapi baru saja terpikir. Apakah ucapannya akan dipercaya, apakah ucapan seorang anak yang masih berada di tingkat akhir sekolah akan dipercaya? Sementara dari cerita Alma, tidak pernah ada bukti selama pencarian.

Satu poin, langkah Sakha masih sedikit terhalang oleh kondisi tersebut. Pasti akan ada yang keberatan dan memberatkan dengan segala macam hal, tetapi jangan lupakan kalau usaha tak akan mengkhianati hasil.

Sesegera mungkin Sakha berpikir cepat, mencari ide untuk ini. Mata melihat ke cermin yang memperlihatkannya posisi Alma. Brilian! Kenapa tidak dari tadi saja Sakha terpikir akan hal tersebut. Baiklah, setelah memegang bukti, Sakha akan membuatnya tertangkap. Jangan dia yang membawa, tetapi orang lain. Mengambil jalan lain untuk berjaga-jaga pada hal tak terduga, ya, agar omongan dapat lebih dipercaya.

Kini, ponsel dibawa Alma tepat di depan wajah sambil dipegang kuat. Menggunakan tangan kiri, sebab tangan kanannya masih belum sepenuhnya baikan. Perlahan posisi kaki berpindah, tubuhnya berbalik. Dalam hitungan detik, ponsel tepat mengarah pada orang misterius tersebut.

***

#SapaAuthor

Hai, hai, alhamdulillah sudah sampai bab 35 aja, nih. Bersyukur dapat diberi kemudahan dalam melanjutkan ceritanya.

Juga, terima kasih untuk kalian yang sudah mau baca ceritaku ini. Sudah setia menunggu update-nya, intinya terima kasih banyak.

Semoga kalian selalu suka ceritanya, ya, selalu menunggu, menantikan. Terus baca ceritanya, sebab setelah ini bakal ada apa? Wah!

Oh, iya, satu lagi. Kalau ada bab yang kalian suka. Maka, jangan ragu untuk mempertimbangkan apakah akan diberi like atau tidak, coment atau tidak.

Baiklah, segitu aja. See you, guys!

Salam

Senja_Berbisik ♡

Argia (Tamat)Onde histórias criam vida. Descubra agora