46. Terhina?

347 26 1
                                    

Libur sehari rasanya tak cukup untuk membuat satu sekolah, melupakan berita yang tengah trending saat ini. Jangankan lupa, berita tersebut masih terus menjadi topik hangat. Enggan masuk, tetapi Aiyra sadar kalau saat ini kehidupan sudah jauh berbeda dari apa yang dulu pernah dimilikinya. Berhenti sekolah, justru akan menambah daftar masalah saja di kemudian hari.

Mengembuskan napas pelan, lalu berjalan memasuki pekarangan sekolah. Saat melirik beberapa siswa yang masih belum masuk kelas, membuat perasaan makin tak nyaman. Mereka tampak mulai berbisik saat Aiyra datang. Tak terdengar, tetapi terlihat jelas dari gerak-gerik. Kalau mereka sedang membicarakan dirinya.

Dalam sekejap, semua terasa berubah karena kasus yang menimpa ayahnya. Tak lagi menyangkal, untuk saat ini hanya mampu diam. Ya, karena memang kenyataan seperti itu. Ayah Aiyra memanglah masuk penjara. Tentu fakta tak mungkin bisa diminta untuk terus tertutup, media akan lebih dahulu memberi info terhadap hal baru. Sehingga mereka pun tahu dengan sendirinya.

Abai dengan situasi sekitar adalah pilihan terakhir. Aiyra tidak ingin mendapat peringatan, yang bisa saja menyebabkan dirinya terkena suspensi dari pihak sekolah. Walau tahu sulit untuk abai. Akan tetapi, bertengkar bisa berdampak fatal untuk diri-sendiri. Lagi pula, mereka tidak melakukan tindak kekerasan. Cukup terlihat berbisik-bisik.

Kembali mengembuskan napas pelan, seiring langkah terus menuju kelas. Jika saja ada pilihan. Aiyra pasti akan memilih hidup dengan keluarga yang baik dan harmonis.

Namun, harus paham kalau setiap orang telah memiliki takdirnya. Entah, akan seperti apa? Akan tetapi, semua sudah sesuai pada porsi masing-masing. Tinggal bagaimana cara bersikap terhadap apa pun yang tiba-tiba bisa terjadi.

Sampai di kelas, Aiyra langsung menaruh tas. Kemudian bersandar dengan wajah lesu. Tak begitu lama, karena Aiyra bergegas memperbaiki duduk saat teman-temannya mulai masuk. Terlihat mengambil duduk di kursi masing-masing.

"Wah, punya nyali juga dia sekolah. Bahkan, masuk lebih awal." Suara dari salah satu bangku terdengar memulai percakapan, dengan teman yang lain.

"Kudengar-dengar, sih. Ayahnya masuk penjara karena neror anak bos-nya sendiri," balas siswi yang satu dengan intonasi jelas. Sesekali melirik orang yang menjadi sasaran perbincangan mereka kali ini.

"Bukan katanya lagi, Pak Asraf sudah tegasin semalam, kok, di acara tv mana gitu, lupa. Terus dari artikel yang kubaca, itu dilakukan biar anak dari bosnya disangka gila dan perusahaan nggak ada penerus." Pembicaraan makin terasa, sementara Aiyra masih diam. Memang sengaja tidak berbisik agar Aiyra dengar apa yang dibicarakan.

"Pasti mau diambil alih perusahaannya."

"Betul sekali. Orang kalau sudah gila harta, pasti begitu. Ya, nggak jauh beda sama anak sendiri. Bucin akut, sampai teman dekat dikhianati." Sindiran semakin jelas, membuat kuping Aiyra terasa panas. Cukup terpancing dengan perkataan dari keduanya. Namun, guru sudah lebih dahulu masuk. Kedua siswi yang tadi bergosip pun berhenti, lalu segera mengeluarkan buku paket.

***

Dua mangkuk berisi mie panas, serta segelas es teh dengan cepat tersaji di depan Aiyra. Tak hanya itu, gadis yang membawanya pun juga ikut duduk di sampingnya. Sementara itu, Aiyra masih diam sambil menatap heran.

Gadis yang tak lain adalah Zalfa, bergegas menaruh nampan di bawah dekat kursi. Kemudian langsung menyeruput mie dari mangkuk yang berada di depannya. Melirik Aiyra sekilas, lalu taruh sendok dan garpunya, menoleh.

"Nggak makan? Aku pesan mie dan es itu, untukmu."

"Aku bisa pesan sendiri."

Zalfa mengangguk paham. "Nggak usah, aku sudah memesannya untukmu. Ini, makanlah."

"Makan saja sendiri."

Zalfa mengambil garpu miliknya, lalu ambil mie dari mangkuk yang berada depan Aiyra. Kemudian dengan cepat memakan mie tersebut.

"Makanan ini nggak beracun, kok, aman." Zalfa kembali menaruh garpunya. "Apa yang kamu pikirkan tentangku, Aiyra? Gadis jahat, begitu? Aku nggak pernah mikir sampai ke sana. Oh, atau mungkin kamu berpikir, kalau aku datang untuk mengejekmu soal berita itu?"

Aiyra yang sejak tadi sama sekali hanya menatap lurus ke depan, sontak menoleh karena perkataan Zalfa yang menyebut berita. Senyuman tipis terlihat dari Zalfa, juga beberapa kali gelengan pelan.

"Aku nggak mau mengambil sikapmu dalam berteman. Aku juga nggak mau jadi gadis jahat yang coba kamu ciptakan. Aku ke sini hanya mau makan bareng. Nggak enak sendiri, setelah sebelumnya selalu bareng." Kembali menyeruput mie sendiri.

"Setelah semua yang kamu ketahui, kamu masih bisa bersikap seperti ini? Setelah semuanya, kamu juga masih bisa bicara santai?"

Menoleh lagi. "Kenapa, apa menurutmu sekarang aku pura-pura? Terus mencoba balas dendam dengan mendekati?" Tatapan lebih serius tiba-tiba muncul dari Zalfa. Namun, seketika tertawa kecil, lalu minum. "Huh! Sudah pernah sakit, itu betul. Sudah pernah merasakan bagaimana dikhianati teman sendiri juga betul, tapi balas dendam? Ini yang nggak betul."

Zalfa mengembuskan napas pelan. Mungkin benar, tak sedikit yang beranggapan seperti itu. Kalau balas dendam, menjadi poin utama setelah mendapat pengkhianatan. Akan tetapi, niat Zalfa tidak begitu. Memilih menjadi gadis yang baik, jauh lebih berwibawa daripada harus menjadi terhina, dengan bertindak rendahan.

"Aku nggak mau melakukannya dan seharusnya enggak, karena pendidikan yang diterapkan padaku bukan belajar balas dendam, tapi belajar gimana caranya ikhlas dan berusaha memaafkan. Walau itu sulit." Usai mengatakan itu, Zalfa langsung berdiri. Kemudian membawa mangkuk mie dan minuman untuk dirinya, pergi ke bangku lain yang masih kosong.

Sementara itu, Aiyra yang sama sekali tidak membalas perkataan Zalfa langsung mengalihkan pandangan setelah gadis itu pergi. Perlahan melihat pada mie yang Zalfa berikan, hanya melihat tanpa memakan atau menyentuhnya sedikit pun. Memilih diam, larut dalam pikiran.

Argia (Tamat)Where stories live. Discover now