26. Pasti Bisa!

341 43 0
                                    

Lega Nabila baik-baik saja saat melewati jalanan yang sama seperti Luna dan juga, bertemu Luna dalam keadaan yang sudah mulai membaik. Mengingat keduanya yang kembali bercanda lagi bersamanya menjadi salah satu hal melegakan dan menyenangkan.

Kini, Alma merebahkan diri di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang berwarna hijau. Membawa pikiran menuju ingatan tentang perbincangannya bersama Sakha waktu di sekolah. Mengingat perkataan Sakha, tentang bukti tersebut. Ya, memang benar Alma membutuhkannya. Bahkan, sangat membutuhkan agar bisa membuat orang percaya tentang ceritanya dan tidak lagi memiliki pemikiran, kalau semua cuman ilusi semata.

Akan tetapi, perasaan takut terhadap orang misterius terus saja memberontak dan terasa ingin mengurung. Dalam keheningan, Alma memejamkan mata, mencoba mencari solusi, mencoba mencari tindakan, dan pilihan apa yang akan dilakukan berikutnya.

Perkataan meyakinkan, tentang dia pasti bisa. Perkataan Nabila kalau dia tidak boleh takut juga teringat. Semua seperti berkumpul, membuat Alma segera membuka mata dan duduk.

Keringat dingin terlihat muncul, Alma masih belum mampu mengendalikan diri-sendiri. Namun, apakah harus bungkam, menutup mulut tanpa berusaha mendapatkan bukti? Tidak!

Alma menggeleng pelan. Mulai memegang kepala yang terasa sedikit pusing, mungkin terlalu keras memikirkannya.

Cukup lama, sampai kepalanya sudah tidak pusing lagi. Alma melirik meja belajar, dia turun dari tempat tidur. Berjalan menuju meja belajar. Kemudian meraih ponsel yang tergeletak di sana. Hari makin malam, tetapi Alma tetap mengutak-atik ponsel dan tampak nama Sakha tertera di sana.

"Nggak boleh, aku nggak boleh terus begini. Aku harus bisa melawan rasa takut ini, nggak boleh diam dan menuruti perasaan yang pasti terus membuatku enggak dapat bukti apa-apa."

Perlahan, Alma menelepon Sakha.

***

Alma berjalan menyusuri koridor yang mana sudah Sakha tentukan. Sesekali melirik ke kanan, lalu kiri. Memilih untuk melawan rasa takut dan membiarkan kaki terus melangkah maju, sepertinya menjadi pilihan terbaik. Ya, daripada membuat diri harus mendapatkan teror hampir setiap hari.

Alma akan berusaha melawan rasa takutnya, berusaha mengendalikan diri agar tidak lari atau ketakutan lagi.

"Kamu tenang aja, aku akan mengawasi dan dengan mudah menjangkau dirimu kalau terjadi apa-apa," ucap Sakha sebelumnya.

Alma terus mencoba tenang walau rasa tenang itu mulai menipis, berganti kecemasan. Langkah terhenti, tampaknya memancing orang misterius tersebut keluar menggunakan dirinya berhasil. Perasan Alma mengatakan, kalau orang itu sudah muncul.

Namun, hal tersebut membuat Alma mulai takut. Takut dilukai, dikejar, atau hal buruk yang lain. Napas terdengar tak beraturan, keringat dingin keluar menandakan kalau Alma mulai mengalami perasaan takut seperti biasa, tetapi sekarang dia berusaha mengendalikan semua perasaan itu.

"Nggak!" lirih Alma, tangan terlihat mengepal, matanya terpejam dan tidak berani melihat ke belakang. Apa pertahanannya mulai runtuh, apa perasaan takutnya lebih kuat?

"Alma, jangan takut. Dengar, aku ada di sini," ucapan Sakha terdengar melalui handsfree yang terpasang di telinga kanan Alma. Penglihatan pemuda itu, terus mengawasi Alma dan tak sekalipun mengalihkan pandangan.

Alma menarik napas, perlahan mengembuskannya. Mencoba untuk tetap bertahan di sana. "Sakha, dia datang. Sekarang dia ada di belakangku," lirihnya.

Mendengar penuturannya, Sakha langsung melihat ke arah belakang Alma dari tempatnya bersembunyi. Namun, tidak ada siapa-siapa hanya ada Alma di sana. Apa semua benar-benar ilusi? Sakha tak percaya dengan apa yang dilihat sekarang. Tidak ada siapa pun, tetapi kata Alma ada.

"Bagaimana bisa?" lirih Sakha.

"Sakha, ada apa?"

Sakha masih belum percaya kalau apa yang Alma katakan adalah ilusi, dia percaya semua itu nyata adanya. Lalu, bagaimana cara untuk membuktikannya? Secepat mungkin Sakha memutar otak, kembali berpikir.

"Sakha?" ucap Alma lagi.

"Aku nggak lihat apa pun. Nggak ada siapa-siapa, hanya kamu yang berdiri di sana."

"Aku bicara jujur, aku merasakan kehadirannya. Dia ada di sini, Sakha." Suara Alma terdengar sedikit gemetar, gadis itu seperti sangat ketakutan. Namun, terus berusaha mengendalikan diri.

"Tenang, ya, jangan takut. Kamu merasa dia ada di belakangmu, tapi aku belum bisa melihatnya atau ... hanya kamu?"

"Hanya aku?"

Hanya dapat terlihat oleh Alma, ya, itu dia. Sakha mengangguk pelan. Kalau memang benar hanya Alma yang dapat melihat, baiklah. Bukan masalah baru, malah menjadi solusi dari kebingungannya. Cuman Alma, kalau begitu dia yang akan mengarahkan Sakha untuk mengetahui posisi orang misterius tersebut berada, atau berdiri di mana saat ini. Brilian!

"Ya, kurasa hanya kamu yang bisa melihatnya. Buktinya aku nggak melihat apa pun, atau karena posisinya saat ini nggak bisa dijangkau oleh pandanganku? Aku percaya padamu, tapi masalahnya aku nggak lihat siapa pun selain kamu. Jadi, sekarang dengar, berbalik dan lihat ke belakang."

Terkejut, satu kata yang saat ini sangat sesuai dengan apa yang Alma rasakan. Bagaimana mungkin, Alma bisa melihat ke belakang? Astaga!

"Sakha," lirihnya.

"Lihat di mana dia berdiri, kalau memang hanya kamu yang bisa melihat, maka setidaknya kita mengetahui posisi dia saat ini," jelas Sakha dengan suara sedikit melambat, berharap Alma mengerti maksudnya.

"Tapi, ta--" Belum selesai berucap, Sakha sudah terlebih dahulu memotong.

"Aku yakin kamu bisa," ucap Sakha.

"Sakha," lirih Alma.

"Kamu pasti bisa, kamu harus melakukan itu, karena aku masih belum bisa melihatnya."

"Tapi Sakha." Alma masih memejamkan mata, dengan tangan yang terus mengepal.

"Kamu pasti bisa."

"Sakha, tapi ak--"

"Ayo, ayo, ayo!" ucap Sakha sedikit cepat. Ini adalah kesempatan untuk melihat siapa orang yang terus meneror Alma. "Ayo, Alma. Aku yakin kamu bisa." Sekali lagi dorongan hadir, membuat napas Alma makin memburu. Terasa berada antara keharusan, atau menolak dan pergi sekarang juga dari sini.

"Alma, aku yakin padamu. Ya, kamu pasti bisa." Sakha kembali bersuara.

"Stop!"

Argia (Tamat)Where stories live. Discover now