37. Hanya Kebetulan

332 39 1
                                    

Usai guru beranjak dari kelas, juga para murid yang hampir semua keluar. Luna bergegas menarik kursi mendekat ke kursi Alma, sangat ingin tahu tentang gadis satu ini. Tak jauh berbeda dari Luna, Nabila juga membawa kursinya mendekat pada Alma. Meninggalkan sejenak keinginan untuk berfoto bersama Sakha.

"Alma."

"Hmm?" Suara deheman terdengar, balasan untuk panggilan dari Luna. Belum menoleh, Alma tengah memasukkan buku dan alat tulisnya kembali ke tas secara perlahan.

"Alma, cerita dong soal tadi." Nabila melipat tangan di meja Alma, memperhatikan gadis itu.

"Cerita yang mana?" Usai semua sudah berada di tas, Alma memperbaiki posisinya menghadap kedua gadis yang saat ini begitu ingin tahu.

"Itu, kok, bisa kamu masuk kelas bareng Arga, Radit, Azlan. Kalau Sakha, kan, nggak perlu ditanya. Sebab menurutku kalian memang sudah cukup dekat." Pernyataan itu, langsung membuat sang pemilik nama menoleh dengan diam. "Nah, kalau yang ketiganya ini, kok, bisa?"

Alma melirik Sakha sejenak. Namun, secepat mungkin pemuda yang sempat menoleh itu kembali mengalihkan pandangan. Alma pun memutar netra ke arah Nabila dan Luna.

"Alma, ayo cerita!" Luna memegang pergelangan tangan Alma, membuat gadis itu melihat pergelangan tangannya sejenak. Kemudian kembali melihat Luna dan Nabila.

"Cerita apa? Aku aja nggak tahu, kenapa mereka bisa ada di sana. Tiba-tiba aja ada mereka."

"Hm, baiklah. Terus tadi ke mana aja? Kita nungguin kamu tahu di kantin, sempat nyari juga, kan, Nabila?"

"Iya, kita sempat nyari."

"Itu ... hm, itu."

"Apa ada sesuatu? Ayo, cerita aja, Ma," ucap Luna yang diangguki oleh Nabila. Untuk sejenak terdiam, perlahan melirik Sakha yang ternyata juga kembali melihat ke arahnya. Tampak anggukan pelan, juga isyarat agar Alma tidak perlu khawatir.

Melihat hal itu, perlahan membuat Alma tersenyum tipis. Kembali menoleh pada keduanya. Setelah semua yang terjadi, rahasia yang ditutupi dari banyak orang termasuk Luna dan Nabila. Sekarang Alma bisa mengatakan semua pada temannya ini, tentang orang misterius tersebut dan semuanya.

Bagaimana jika mereka tidak percaya? Satu pertanyaan yang seolah-olah memiliki kekuatan lebih besar, tetapi sekarang tidak begitu. Bermasa bodoh dengan itu. Setelah semua, kejadian demi kejadian. Ya, dahulu Alma takut menghadapi kenyataan yang sebenarnya tidak melulu sesuai pada ekspektasi. Namun, sekarang tidak begitu.

Alma mengangguk. "Aku akan cerita."

Kini, Luna dan Nabila mulai mendengarkan cerita Alma tentang apa yang terjadi. Sekarang tak ada lagi yang ditutupi, sampai kejadian siang tadi, di mana orang tersebut memilih menyudahi hidup daripada mengakui segalanya menjadi akhirnya.

Usai bercerita, Alma masih belum memperlihatkan bukti tersebut. Kedua temannya pun sama sekali tidak meminta bukti yang Alma maksud, justru saat ini mereka saling berpelukan erat. Ada dukungan dan hubungan kuat di sana, tanpa sadar membuat Alma terharu, ya, sebab mereka langsung percaya.

Sekali lagi, ekspektasi berbeda dari yang terjadi sekarang. Menurut Alma, semua keberanian ini tidak mungkin ada kalau bukan berkat bantuan dari Sakha, tak lupa dengan dukungan dari kedua orang tuanya. Pemuda tersebut, benar-benar membuktikan ucapannya. Sekalipun Alma berkata, kalau dirinya mengalami sakit mental. Sakha tetap percaya dan mungkin, ini jugalah alasan yang membuat Alma mampu bermasa bodoh, ketika menetapkan pilihan untuk bercerita dan menolak bungkam.

***

Aiyra Ashalina, gadis yang beberapa menit lalu memperhatikan kedekatan Alma dan teman-temannya itu, beranjak pergi dengan wajah tak senang. Melangkah cepat menuju kantin, menemui Zalfa yang tengah terlihat asyik menyantap mi goreng panas buatan Bu Lina.

"Kenapa tuh, muka? Cemberut gitu." Zalfa melirik sebentar, lalu kembali menyendok mi goreng tersebut. Kemudian dalam hitungan detik, memakannya.

"Ya, gimana nggak cemberut kalau temenku kayaknya makin kehilangan aura kecantikannya." Mengeluarkan ponsel lalu memperhatikan wajah, juga merapikan rambutnya.

"Teman, siapa?" Meraih gelas dekat mangkuk mi miliknya, tetapi baru satu teguk Zalfa tiba-tiba terbatuk. Aiyra yang duduk di sampingnya langsung menaruh ponsel, fokus pada Zalfa.

"Eh, kenapa? Minumnya pelan-pelan, Za."

Zalfa kembali minum untuk menghilangkan batuk. Cukup lama, sampai Zalfa benar-benar merasa tidak batuk lagi. Berhenti minum, menoleh cepat ke arah Aiyra. Membuat gadis itu sedikit terdiam, mulai merasakan hawa panas di sampingnya.

"Tunggu sebentar, apa teman yang kamu maksud adalah aku? Teman yang mulai kehilangan aura kecantikannya itu, aku? Apa maksudmu, kok, bisa?" Melempar pertanyaan lebih dari satu, dengan pandangan sama sekali tak berpaling. Selama ini, tidak ada satu pun gadis yang mampu menjadi saingannya. Dalam hal cantik atau kecerdasan, juga status, lalu sekarang? Kenapa Aiyra mengatakan ini? Tidak! Zalfa butuh alasan.

Aiyra terlihat mengembuskan napas. Mendapat pertanyaan begitu banyak, membuat dirinya yang sempat fokus pada Zalfa, kembali berganti dengan segala macam pemikiran yang ingin disampaikannya. Aiyra menarik kedua sudut bibir membentuk senyum, ya, terkesan memiliki maksud.

"Astaga, Za! Kamu nggak peka, nggak memperhatikan sekeliling gitu? Bahkan, jelas-jelas saat di kelas tadi udah terang-terangan."

"Apa, sih! Bicaranya yang jelas aja, peka gimana dan terang-terangan gimana?"

"Ya, Alma. Kamu nggak lihat dia masuk kelas bareng Azlan? Pemuda yang udah mutusin kamu hanya karena gadis itu. Terus Sakha, yang kayaknya kelihatan kadang sama-sama dia, terus Arga ketua osis kita, juga Radit. Masih belum peka? Ini, tuh, udah membuktikan kalau aura kecantikan seorang Zalfa Qirani perlahan memudar."

"Enggak mungkin! Kamu jangan ngomong macam-macam, deh. Ya, bisa aja itu hanya kebetulan. Mending kamu pesan mi, terus makan bareng aku kayak gini." Mencoba untuk tak mengindahkan perkataan Aiyra, memilih kembali melanjutkan makannya.

"Kebetulan, kamu bilang itu kebetulan? Astaga, Za, huh! Oke, oke, kalau kamu tetap mau diam di sini dan membiarkan semuanya, silakan. Mau menganggap itu hanya kebetulan, silakan. Nggak masalah, kok, tapi nanti jangan mengomel di belakang, ya." Menggeleng tak percaya. Secepat mungkin, Aiyra kembali meraih ponsel, memperhatikan wajah. Kemudian dalam waktu singkat, mengambil foto.

Zalfa melirik Aiyra sekali, lalu kembali melihat mi gorengnya, perlahan mengaduk. Tiba-tiba terpikir soal ucapan Aiyra tadi. Tentang Alma yang masuk kelas bersama keempat pemuda tersebut, tentang Alma yang membuat Azlan memutuskannya, juga kedekatan gadis itu dengan Sakha. Apa semua tampak kebetulan atau faktor kesengajaan yang telah terencana?

Bagaimana kalau semuanya benar?Bagaimana kalau semua bukan hanya kebetulan saja?
Lalu, bagaimana kalau semua memang telah direncanakan?

"Licik!" Satu kata yang sukses menghentikan aktivitas Aiyra bermain ponsel. Menoleh cepat, mendapati Zalfa yang sedang menusuk-nusuk mi goreng dengan kasar, menggunakan garpu.

"Za, kamu baik-baik aja?"

Merasakan sentuhan pada salah satu pundak membuat Zalfa terkejut, sampai garpu yang terpegang seketika jatuh menghasilkan dentingan cukup keras pada mangkuk. Mengembuskan napas, lalu menoleh.

"Enggak, enggak boleh terjadi, kalau benar semua bukan kebetulan bisa-bisa dia akan lebih populer dibanding aku. Apalagi sekarang Luna berteman baik sama dia."

"Hm, betul banget."

"Terus, gimana caranya biar Alma jangan sampai lebih populer dibanding aku?"

"Aku ada ide," ucap Aiyra.

"Apa?" Zalfa tampak ingin tahu. Segera mungkin, Aiyra membisikkan sesuatu yang membuat senyum Zalfa mengembang. Usai memberitahu, Aiyra kembali duduk tegak tersenyum melihat Zalfa.

Argia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang