18. Tiga Pilihan

480 58 0
                                    

Kursi panjang yang letaknya di ujung, cukup sepi dan juga sejuk karena sudah hujan itu, menjadi tempat Alma merenung. Memikirkan ucapan Sakha tentang apa yang selama ini terus mengejar dirinya.

Tiga pilihan yang Sakha berikan, ketika Alma berjalan meninggalkannya dari kelas saat itu.

"Aku memberimu tiga pilihan Alma dan kembalilah dengan apa yang menjadi pilihanmu nanti."

Pilihan pertama, untuk tetap bertahan dengan apa yang menjadi pendiriannya saat ini dan memang benar, kalau Sakha salah berpikir ada yang mengejar Alma.

"Kalau aku salah, maka pilih saja yang pertama untuk bertahan dengan pendirianmu kalau apa yang kupikirkan tidak benar," ucap Sakha kala itu.

Pilihan kedua, sebuah kata mutlak tertuju. Membiarkannya mengetahui, melalui cara sendiri itu, dalam keputusan.

"Kedua, kalau Kamu nggak tahu dan nggak bisa memberitahu. Maka biarkan aku mencari tahu sendiri, dengan caraku. Pilihlah keputusan itu, Alma."

Pilihan ketiga, di mana itu sebuah kemauan atau keinginan, kalau Alma mau memberitahu jawaban dari pertanyaan Sakha.

"Kalau aku yang benar dan Kamu sudah siap untuk memberiku jawabannya, maka pilih yang ketiga. Kemauan, atau keinginanmu."

Alma menghela napas. Menyandarkan diri, melipat tangan serata perut, dan kaki menyilang dengan kaki kiri sebagai penopang kaki kanan. Apa yang harus dipilihnya? Alma bingung. Tak mau, jika nantinya pilihan itu menjadi bomerang untuknya. Alma harus benar-benar memikirkan itu.

Bel berbunyi dan Alma masih mengenakan pakaian olahraga, astaga! Sadar kalau dirinya belum ganti baju, membuat Alma bergegas pergi untuk mengambil pakaiannya di loker.

***

Beberapa menit sudah, mata pelajaran milik salah satu guru di sana berjalan dan Alma belum datang juga. Dari luar, terlihat Alma berlari menuju kelas. Sampai akhirnya dia sudah berada di ambang pintu, mengetuk pelan.

"Misi, Pak." Suara Alma terdengar ngos-ngosan seperti habis maraton. Pandangan semua langsung tertuju padanya, begitu juga guru yang tengah mengajar.

"Masuk!" titahnya dan Alma bergegas menghampiri. "Dari mana Kamu, nggak dengar bel sudah bunyi?" lanjutnya melempar pertanyaan pada Alma.

"Maaf, Pak. Tadi saya ganti baju."

"Gantu baju, kok, hampir mau setengah jam. Ya, sudah duduk sana, tapi lain kali lebih disiplin waktu."

"Terima kasih, Pak." Alma bergegas menuju tempat duduknya dengan diam.

Pelajaran kembali dimulai, mereka tampak fokus pada buku paket sekolah, juga menyimak penjelasan dari guru. Ada beberapa yang bermain, tetapi tak begitu ribut juga tak mengganggu siapa pun. Jadi, guru tersebut tidak tahu.

***

Baru saja bel berbunyi dan itu tandanya mereka boleh keluar kelas. Jelas saja tujuan utama hampir semua anak adalah kantin. Begitu juga dengan Alma dan kedua temannya.

Baru saja mereka duduk, terlihat Arga berjalan bersama Radit memasuki kantin. Mereka langsung menghampiri Alma dan kedua temannya.

"Hai," sapa Radit lalu segera ikut bergabung diikuti oleh Arga.

"Ngapain ke sini? Sana cari tempat lain!" usir Luna. Gadis itu, memasang wajah tak suka terlebih pada Arga. Walau statusnya adalah wakil dari ketua OSIS dan ketuanya adalah Arga, tetap saja Luna masa bodoh.

"Tugas dan urusan pribadi keluar dari tugas itu, berbeda. Tugas, ya, tugas. Jalankan sepenuh hati. Jadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan pribadi."

-Nazinda Safaluna-

Ya, begitulah menurut Luna dan dipegang teguh sampai saat ini, detik ini, jam ini. Bahkan, sampai hari yang tak ditentukan, tanpa batas.

"Ya, Lun. Baru juga sampai masa langsung disuruh pergi, sih!" Radit memperlihatkan wajah cemberutnya.

"Nggak peduli, sudah sana!" kesal Luna.

"Tau, udah sana!" ucap Nabila yang juga ikut menyuruh mereka pergi. Membuat wajah keduanya cemberut.

"Sudah, makanan sudah datang, tuh. Mending makan!" ucap Alma antusias. Kali ini, dia memesan mi goreng, Luna bakso dan Nabila memesan nasi goreng.

Memang benar ada beberapa menu di kantin ini. Ya, itu semua saran dari anak-anak di sini. Sering menanyakan yang tak ada, sampai akhirnya Bu Lina berinisiatif untuk membuat. Hitung-hitung menambah penghasilan juga. Jadi, tak ada ruginya kalau Bu Lina membuat itu.

"Bu, pesan es campur, ya," ucap Arga tak peduli dengan perkataan Luna yang menyuruhnya pergi. Begitu pula Radit, membuat Luna harus bersabar dengan ini.

"Saya juga, Bu." Radit tersenyum. Kemudian mengedarkan pandangan. Mata Radit langsung tertuju pada meja barisan ke dua, samping kiri. "Wah, Mak Lampir kayaknya sudah baik-baik aja."

"Siapa Mak Lampir?" tanya Nabila tak tahu-menahu dengan apa yang Radit katakan.

"Itu, loh, Zalfa. Mak Lampir kelas."

"Eh, shut! Nggak baik ngomong gitu. Sejak pagi, Kamu ngomong itu terus," sahut Alma membuat Radit tersenyum manis ke arahnya.

"Telingannya kuat, kok. Jadi, nggak akan sedih dipanggil Mak Lampir. Malah senang kali, sebab dia punya sebutan sayang dari aku."

"Sebutan sayang Mak Lampir? Hah! Radit gila!" ucap Luna dengan nada yang dinaikkan satu oktaf.

"Kalau panggilan sayang aku buatmu, my Luna dalam artian Kamu adalah Lunaku," ucap Arga dibarengi dengan senyum lebar, selebar samudra.

Alma dan Nabila menatap tak percaya, sementara Luna seakan-akan ingin muntah saat itu juga.

"Kurang nyambung!" teriak Nabila sampai membuat beberapa murid mengarahkan pandangan ke tempat duduk mereka.

Bu Lina datang dengan pesanan Arga dan Radit. Kedua pemuda itu, langsung menyambut dengan senang hati. Mereka mulai menikmati minuman mereka, juga ketiga gadis itu menikmati makanan pesanannya.

Mereka mulai fokus pada pesanan masing-masing, begitu juga Alma. Asyik makan, pikirannya kembali tertuju pada Sakha. Sesekali makan sambil berpikir tentang apa yang akan dipilih.

***

Usai pelajaran terakhir, semua murid mulai berjalan menuju parkiran dan sebagian langsung saja pulang. Alma berjalan cepat ke koridor yang mengarah luar. Tampak Sakha berjalan santai, dengan biola di tangan kanan.

"Sakha, tunggu!" teriaknya menghampiri.

Sakha berhenti, berbalik. Kini, Alma sudah berada tepat di depannya. Azlan yang pulang paling akhir sempat melihat itu, tetapi dia bersikap masa bodoh. Azlan berjalan cepat melewati keduanya.

"Apa Kamu sudah menentukan pilihan?"

Alma menggeleng pertanda tidak. Waktu setengah hari bagi Alma, adalah waktu yang sangat singkat untuk menentukan hal kali ini.

"Lalu, kenapa Kamu manggil? Tenang aja, ada banyak waktu untukmu dariku. Aku juga nggak akan maksa, kalau Kamu masih belum juga memberi jawaban."

Alma menggeleng pelan, lalu memberikan buku catatan. "Ini, milikmu. Aku ingin memberikannya, terima kasih. Aku sudah menyalin semua dan maaf, kalau baru mengembalikan. Bukunya sering mau kubawa, tapi lupa, maaf."

Sakha melihat. Kemudian mengambilnya. "Sama-sama. Soal itu, nggak masalah." Tanpa menunggu lagi, Sakha segera memasukkannya ke tas.

"Hm, aku ada satu pertanyaan untukmu. Kamu memberi tiga pilihan dan aku juga mau memberi satu pertanyaan."

Sakha menoleh sekilas, lalu mengenakan tasnya kembali. "Tanyakan aja," ucapnya. Sakha melihat Alma dengan tenang, menunggu pertanyaan untuknya.

Alma mengangguk. "Aku memang mau memberi pertanyaan, itu kalau Kamu nggak keberatan."

"Hai, katakan aja. Aku sama sekali nggak keberatan, kok."

Argia (Tamat)Where stories live. Discover now