19. Sebuah Pertanyaan

445 58 0
                                    

Alma melihat Sakha, pandangan mereka bertemu. Beberapa detik berlalu, sampai akhirnya Alma buka suara lagi.

"Baik, akan kutanyakan apa yang kupikirkan tadi."

"Iya," ucap Sakha.

Namun, baru saja ingin bertanya terdengar suara buku terjatuh, membuat keduanya menoleh. Tampak Bu Farah kesusahan membawa buku yang cukup banyak. Alma melihat Sakha sejenak.

"Aku rasa besok saja," ucapnya bergegas pergi membantu Bu Farah. Bukan hanya Alma, Sakha juga ikut membantu walau sedikit merasa kesusahan karena dia memegang biola juga.

Kini, mereka berjalan menuju ruang guru. Sampai di sana, Alma menaruh bukunya diikuti oleh Sakha. Bu Farah tersenyum melihat itu.

"Terima kasih, ya, anak-anak."

"Sama-sama, Bu," ucap Alma. Sementara Sakha tersenyum tipis, lalu mengangguk.

Kini, mereka berjalan menuju luar sambil beriringan. Sesekali Alma sempat mencuri pandang ke arah Sakha. Wajah pemuda itu memanglah manis, sebenarnya pun tampan jika diperhatikan secara dekat. Tak kalah dengan Azlan.

"Hm, tunggu." Alma berhenti, membuat Sakha ikut berhenti. Gadis itu berdiri tepat di depan Sakha perlahan memperhatikan wajah Sakha.

"Kenapa?" Sakha tentu merasa heran saat Alma bersikap seperti itu, tidak biasanya. Sampai akhirnya, dia harus terkejut ketika Alma merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

Usai merapikan rambut Sakha, Alma langsung menjauh selangkah. Tersenyum melihat. "Kamu tampan juga, ya, manis lagi." Tampak senyum merekah dari bibir Alma.

"Biasa saja." Sakha memperbaiki biola di tangan, lalu kembali melihat Alma. "Ayo pulang! Aku juga mau pulang," ucapnya.

Alma mengangguk, lalu berjalan lebih dahulu. Akan tetapi, melirik tangan juga lengan yang hampa tanpa adanya seseorang di sana Alma pun berhenti.

Sakha yang sudah sampai di sampingnya menoleh, memperhatikan tingkah Alma. "Ada apa?"

"Huh! Tanganku hampa, nggak ada yang genggam. Lengan juga, nggak ada yang gandeng." Tampak ekspresi malas dari Alma, juga dia memegang lemas tangan kanan dengan tangan kirinya.

Cukup lama, sampai Alma melirik Sakha. Apa pemuda itu tak peka? Haruskah mengatakan secara terang-terangan? Tidak, bukan begitu bagian indahnya. Namun, tak selamanya indah, 'kan? Alma menghela napas saat memikirkan semua itu.

Masih dengan pandangan biasa, ketika Alma melirik Sakha. Pemuda itu hanya diam tanpa ingin menanggapi. Membuat Alma sekali lagi menghela napas pelan, bagian yang cukup menyedihkan untuk seorang putri raja. Secepat mungkin, Alma mengambil langkah pergi.

Namun, tunggu dulu! Langkahnya terhenti. Iya, benar terhenti. Ada sebuah tarikan dari belakang, genggaman hangat di tangan kanannya. Alma menoleh ke arah Sakha yang menggenggam tangannya, perlahan melangkah agar sejajar dengan Alma.

"Yuk!" ajak Sakha langsung.

Alma mengerjap tak percaya. Pemuda ini tak dapat ditebak! Perlahan, mereka pun berjalan sambil berpegang tangan, ya, tidak masalah tak bergandengan seperti apa yang tadi dikatakannya. Begini saja, sudah mampu mengukir senyum di bibir Alma.

Sampai parkiran, Sakha segera melepas genggamannya. Kemudian secepat mungkin, pergi dari sana.

"Eh, malah pergi. Hm, nggak masalah, deh." Alma bergegas meraih helm, lalu menaiki motor dan perlahan menjalankannya meninggalkan sekolah.

"Ada senyum yang akan mengembang, ketika hadirmu membawa kehangatan pada suasana yang menyejukkan."

-Almaira Mahveen-

Argia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang