34. Ragu atau Percaya?

331 45 2
                                    

"Alma!"

Suara yang terasa mengganggu telinga, membuat netra dengan sigap menoleh pada sumbernya. Tampak seorang gadis tengah berlari kecil menghampiri, sementara satunya berjalan santai. Ikat rambut satu, juga senyum di bibir, tampak cantik. Akan tetapi, walau cantik tetap membuat Alma baru saja terkejut.

"Apa?" Nada malas menjadi balasan untuk teriakannya. Mengingat hal semalam, membuat Alma tak begitu bersemangat. Saat ini, Alma masih berada di parkiran sekolah. Ya, gadis yang tak lain adalah Nabila. Gadis itu, bisa dibilang satu dari sekian banyak murid yang tahu kalau Alma ke sekolah naik motor atau mungkin, satu dari beberapa murid lain.

"Akhirnya kamu datang juga. Dari tadi aku nungguin kamu."

"Nungguin?"

"Biasa, mau ngajak foto bareng Sakha."

"Oh, itu."

"Iya." Nabila kembali tersenyum dan dibalas senyum oleh Alma.

Mendengar perkataan Nabila langsung membawa pikiran pada pertunjukkan memukau Sakha semalam. Ya, tak perlu merasa heran, sebab Alma sudah langsung tahu alasan Nabila ingin mengambil foto bersama Sakha, karena melihat video semalam. Auranya memang kuat. Bukan itu saja, bakatnya pun luar biasa.

"Kamu kenapa? Nggak semangat gitu, padahal semalam habis ketemu Sakha yang super keren," ucap Luna seketika membuyarkan lamunan Alma.

Senyum tipis dan gelengan kecil diperlihatkan Alma, pertanda kalau dia baik-baik saja. Berpikir kalau Luna dan Nabila mengetahui apa yang ditutupinya, ya, apa setelah itu semua akan tetap sama? Hubungan ini, keakrabannya? Huh! Alma masih terlalu takut untuk melihat kenyataan. Walau ekspektasi tak selamanya sesuai pada kenyataan.

"Yaudah, mending kita pergi sekarang, ayo!" ajak Nabila yang sudah tak sabar. Menarik tangan kedua teman baiknya menuju arah taman, seperti beberapa murid ketahui. Kalau Sakha lebih suka menyendiri dengan alat musiknya di taman, daripada kelas. Lebih memilih taman dibandingkan kantin, lebih sering ke taman daripada perpustakaan, juga tempat lain.

Nabila segera menghentikan langkah, membuat langkah kedua temannya pun ikut terhenti. Lekas mengedarkan pandangan, sejauh netra menangkap tiap sisi tempat. Namun, baik Nabila, Luna, maupun Alma, tak ada yang melihat Sakha. Bahkan, kursi yang sering Sakha tempati pun masih kosong.

"Jam segini Sakha belum ada, ya, atau sudah ke kelas?" Luna berjalan ke kursi, lalu duduk.

"Enggak tahu juga, tapi kayaknya belum datang." Alma melirik jam tangannya, jarum jam tersebut masih menunjuk pukul 07.05 am.

"Ya ... apa ambil fotonya ditunda? Hm, sepertinya aku harus lebih sabar lagi." Nabila ikut duduk di samping Luna.

"Jadi, mau ditunggu dulu atau langsung ke kelas?" tanya Alma.

"Mending ke kelas sekarang, daripada nunggu tanpa kepastian di sini, yuk!" ucapan dari Nabila, langsung membuat Luna dan Alma menggeleng-geleng. Gadis satu ini, sepertinya sudah mulai dramatis lagi.

"Apa, kenapa? Aku mengatakan hal yang benar, 'kan?"

"Nabila!" teriakan dari Alma dan Luna, langsung membuat Nabila menutup telinga.

***

Kali ini, semua harus selesai. Tak boleh ada lagi penundaan. Alma akan menemukan kepercayaan dirinya lagi, membuang jauh-jauh pemikiran kalau dia mengalami sakit mental, juga perasaan ragu. Ya, itulah pemikiran Sakha. Setelah bel istirahat, Sakha langsung membawa Alma menepi dari kelas. Sekarang, mereka sudah berada tak jauh dari koridor tempatnya telah melihat orang misterius tersebut.

Alma menarik napas, lalu mengembuskan. "Fokus." Usai mengucapkannya, Alma langsung mengalihkan pandangan ke Sakha. Memberi anggukan, kalau dia siap dan akan pergi ke posisi yang sama seperti hari sebelumnya. Kebetulan koridor sepi. Jadi, rencana bisa dijalankan.

"Kalau memang ada, dia nggak akan bisa ke mana-mana. Jalan aja Alma," ucap Sakha melalui handsfree.

Hal yang tidak pernah ada, tetapi dianggap ada itulah ilusi. Namun, dia yang memang ada, tetapi berpura-pura menjadi objek tak nyata itulah permainan ilusi. Mampu bermain dengan apik, tentu tak, 'kan menghadirkan bukti atau memberi kesempatan lawan menang. Sebaliknya, satu hal fatal akan berakibat akhir yang tak sesuai pengharapan.

Alma sudah mulai berjalan sesuai yang Sakha ucapkan. Gadis itu, berjalan lebih santai dari hari sebelumnya. Akan tetapi, walau begitu matanya sesekali melirik kanan dan kiri. Hampir separuh sudah dilewati, tetapi orang misterius itu belum ada juga.

Sedikit aneh, tetapi Alma masih terus berjalan sampai sudah akan menuju luar. Namun, berusaha mengabaikan perasaan sedih yang mulai hadir sepertinya sangat sulit. Hingga, akhirnya tepat di dekat mading langkahnya terhenti. Isakan lirih terdengar melalui handsfree. Membuat Sakha menyentuh handsfree miliknya, mendengarkan lebih jelas.

"Alma, kamu menangis?"

"Dia nggak datang Sakha, semua itu hanya ilusi."

"Hai, apa maksudmu?"

"Aku sudah mau sampai ke luar, tapi dia nggak ada. Jangankan dirinya, perasaan kalau dia berada di sekitarku juga nggak ada."

"Alma, jangan begini."

"Itu memang benar, dia nggak muncul. Aku yang sakit Sakha. Jadi, hanya aku yang bisa melihatnya."

"Terus, aku akan percaya begitu saja? Enggak. Jadi, aku mohon percaya pada apa yang menjadi keyakinanmu tentang orang itu, ya?"

"Orang itu nggak muncul Sakha." Alma mengusap pipi, menghapus air mata yang jatuh. Mengerjap beberapa detik, lalu mengatur napas.

"Dia akan muncul pada saatnya, saat yang sudah dia rencakan."

Sakha mengalihkan pandangan ke kaca yang telah dipasangnya. Memanfaatkan kemampuan pantulan dari kaca tersebut untuk melihat sekeliling. Sejenak terdiam dengan apa yang saat ini tampak. Bukan secara langsung, tetapi sukses menghadirkan harapan yang sebelumnya sempat pupus. Menghadirkan cahaya yang sebelumnya meredup.

Apa sekarang semua akan berbeda? Jangan lupa tentang niat Sakha terhadap orang misterius itu.

Kalau dia mampu membuat semua tampak seperti permainan ilusi, kenapa Sakha tidak bisa mengunci permainan itu menggunakan sebuah cara nyata?

Bom! Keinginan Sakha untuk membongkar semua semakin kuat. Tentu harus bertindak lebih cepat dari orang tersebut, atau bisa dibilang orang misterius yang sebentar lagi sudah tidak misterius. Melepas sematan itu, adalah keinginan Sakha. Dalam waktu singkat, Sakha kembali melihat ke tempat Alma berdiri melalui pantulan kaca juga.

Keberadaan Sakha saat ini berada di salah satu pilar. Sementara beberapa dinding di sekeliling, telah dipasangi kaca yang mampu memperlihatkan apa yang sedikit sulit dijangkau oleh mata.

Sementara itu Alma menunduk, memejam sambil sesekali masih menghapus air mata. Berpura-pura dan berbohong kalau saat ini dia percaya pada diri-sendiri? Tidak! Alma tidak tidak bisa melakukannya. Saat ini, dia ragu. Keraguan yang terasa memuncak.

"Tetap di tempatmu." Suara yang Alma dengar melalui handsfree terasa sedikit berubah. Menjadi lebih pelan, juga seperti berbisik.

Alma membuka mata, mendongak, pandangan ke depan. Menyentuh pelan rambut yang menutupi telinga kiri, memang sengaja agar handsfree yang Alma pakai, tidak terlihat.

"Sakha, ada apa?"

"Dia muncul, aku yakin itu. Jadi, tetap di posisimu."

"Benarkah? Sakha, kamu melihatnya?"

Alma mengambil kaca di saku baju, mengangkat sampai bisa memperlihatkan area belakang dan benar saja. Orang misterius itu ada dan Sakha yang lebih dahulu mengatakan kehadirannya. Itu berarti, Sakha melihat orang yang Alma lihat, begitu? Jadi, apa sekarang Alma bisa percaya pada diri-sendiri yang sempat diragukan?

Argia (Tamat)Where stories live. Discover now