Part 23

313 49 0
                                    

💎Happy reading💎


Keesokan harinya, Gishela sudah bisa pergi ke sekolah. Tubuhnya sudah sedikit membaik dan sudah meminta maaf kepada Debi yang sudah dimarahinya. Gishela juga tidak mau lama-lama bolos sekolah karena takut ketinggalan banyak pelajaran.

Hari ini karena kondisi Gishela yang masih belum stabil. Alin melarangnya membawa mobil. Untuk itu, Gishela meminta Fabio untuk menjemputnya. Itu artinya, mau tidak mau, lagi-lagi Debi harus meminta bantuan Gevan untuk menjemputnya.

Dengan perasaan dongkol, Debi menelepon Gevan dan menyuruhnya menjemput Debi untuk ke sekolah bersama.

Seperti biasa, Gevan akan bersedia menjemput Debi dan Gevan datang selalu cepat kalau dikaitkan dengan masalah menjemput Debi. Buktinya belum sepuluh menit Debi menyuruh Gevan untuk menjemputnya, Gevan sudah datang dengan mobilnya.

****

Saat bel istirahat berbunyi, semua murid yang ada di kelas X IPA II mulai heboh, kemudian berhamburan keluar kelas dengan wajah sumringah. Inilah waktu yang ditunggu banyak murid, waktu di mana mereka bisa melepas lelah dan makan sepuas hati untuk menghilangkan rasa lapar. Sejatinya berpikir itu memerlukan tenaga yang lebih banyak dibandingkan dengan bekerja, yah berpikir memang harus menguras banyak tenaga. Lain cerita dengan murid bandel yang bahkan tidak mau berpikir.

"Tunggu di sini dulu, ya, Bi! Aku kebelet, nih," kata Gishela sambil memegangi perutnya kepada Debi yang sepertinya baru saja bersiap pergi ke kantin.

"Ya udah ... buruan!" kata Debi cuek sambil memainkan ponselnya, niatnya ingin ke kantin harus diundur untuk sementara waktu.

Gishela berlari ke arah toilet untuk memenuhi panggilan alamnya. Kalau saja bel istirahat tidak berbunyi, bisa dipastikan Gishela akan mati karena menahan sesak buang air besarnya. Bukannya Gishela tidak mau meminta izin kepada guru yang mengajar di kelasnya, hanya saja jika waktu istirahat hampir tiba, tidak ada satu orang murid pun yang boleh meminta izin. Itu sebabnya Gishela mati-matian menahan kebeletnya sampai jam istirahat berbunyi.

"Huh! Legah!" ujar Gishela ketika keluar dari dalam toilet. Gishela menepuk-nepuk perutnya yang terasa legah.

"Lo Gishela 'kan?" tanya seorang senior yang berdiri di depan Gishela bersama tiga temannya.

"Iya. Ada apa, ya, Kak?" tanya Gishela sopan ketika melihat almamater warna hijau yang dipakai oleh tiga perempuan di depannya, itu artinya tingkat kelas mereka satu tahun di atas Gishela, yakni kelas XI.

"Lo ikut kita!" kata perempuan yang berdiri paling depan. Sepertinya dia pemimpin di antara mereka berempat.

"Eh? Kemana, Kak? Kita 'kan enggak kenal," kata Gishela bingung.

"Oke! Nama gue Nola ... dan lo Gishela, jadi kita udah sama-sama kenal 'kan?" kata Nola, gadis yang pernah tidak sengaja ditabrak Gevan kemaren.

"Loh?" imbuh Gishela heran.

"Udah! Lo ikut aja!" kata Nola, kemudian menarik paks tangan Gishela dengan sedikit kasar.

"Uh! Sakit, Kak!" lirih Gishela ketika tangannya dicekal dengan kuat oleh Nola.

Nola tidak menghiraukan Gishela dan terus menyeretnya dengan diikuti tiga temannya yang sepertinya sangat patuh kepada Nola.

Nola membawa Gishela ke atap sekolah. Entah apa yang akan dilakukannya terhadap Gishela di sana. Gishela hanya bisa mengikuti seniornya itu yang menyeret-nyeretnya seperti menyeret binatang saja. Ingin rasanya Gishela berteriak minta dilepas, tapi Gishela tahu itu perbuatan tidak sopan. Dalam keadaan genting begini Gishela masih mementingkan sopan-santunnya karena mengingat dia baru di sekolah ini. Gishela tidak ingin dapat masalah apalagi dengan seniornya, jadi Gishela hanya bisa menurut sambil sesekali meringis.

Unconditional Love [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang