Part 46

361 45 11
                                    

💎Happy reading💎

****

Gishela tampak gelisah dan mondar-mandir di samping ranjang tempat Debi tertidur dengan bantuan alat pernapasan dan sebuah jarum infus yang menancap di tangan kirinya, mata Gishela tampak bengkak dan memerah, bibirnya pucat, dan rambutnya seperti rambut orang gila, berantakan. Suara mesin pendeteksi detak jantung terdengar memekakkan telinga.

Sudah dua hari Debi terbaring di Rumah Sakit dan selama itu pula Debi masih belum membuka matanya sampai saat ini. Itu artinya, sudah dua hari pula Gishela terus menangis setiap saat.

Tiba-tiba Gishela melihat jari telunjuk Debi bergerak, kemudian disusul dengan kelopak matanya yang sepertinya berusaha membuka. Gishela buru-buru mendekati Debi dengan wajah cemasnya.

"Debi! Kamu udah bangun?" tanya Gishela tersenyum saat melihat mata hitam legam Debi sudah terbuka dengan sempurna.

Gishela merindukan mata hitam legam itu, sangat merindukanya. Tidak hanya mata hitam legam milik Debi saja, tentu Gishela sangat merindukan mata hitam legam milik Fabio juga.

"Gevan ... Gevan mana?" tanya Debi dengan suara lirih.

"A--aku panggilin dokter dulu, ya." Gishela berlari keluar ruangan dan sesegera mungkin menuju ruangan dokter. Untuk sesaat Gishela lupa dengan sebuah tombol yang ada di kamar Debi yang berfungsi untuk memanggil dokter tanpa harus ke ruangan dokter.

Tak lama setelahnya, Gishela datang bersama seorang dokter perempuan yang selama dua hari ini sering keluar-masuk kamar Debi karena memang dialah yang bertanggung jawab memeriksa Debi.

Dokter mulai memeriksa detak jantung Debi. Detak jantung Debi terdengar sangat teratur. Walau masih sedikit lemah, tapi setidaknya detak jantung itu lebih kuat dari biasanya.

"Pasien sudah baik-baik saja sekarang, tapi harap jangan banyak gerak dulu!" kata dokter itu tersenyum ke arah Gishela.

"Alhamdulillah." Ada wajah ceria tergambar di wajah lesuh Gishela.

Setelah sedikit memberi pengarahan, dokter itu kemudian berpamitan dan meninggalkan Debi dan Gishela berdua di kamar serba putih itu.

"Debi! Aku begitu ketakutan setiap kali aku melihat tubuhmu yang tidak bergerak sama sekali di ranjang sempit ini. Aku takut kamu enggak bakal buka mata lagi." Gishela terisak dan mendekap mulutnya agar tidak terlalu berisik.

"Jangan nangis, Shel! Aku baik-baik saja sekarang, kamu lihat?! Aku enggak apa-apa bukan?" tanya Debi menenangkan.

Gishela memeluk tubuh Debi dan lagi-lagi menangis untuk kesekian kalinya hari ini. Kalau biasanya Gishela menangis karena beban hidupnya yang terlalu berat, kini tangisan itu bercampur dengan sedikit kebahagiaan karena Debi yang sudah sadarkan diri.

"Gevan mana, Shel? Dia baik-baik aja 'kan?" tanya Debi dengan suara lirih.

Gishela menjauhkan tubuhnya dari Debi. Dari wajah Gishela tampak bingung menjawab pertanyaan Debi, dada Gishela mendadak sesak dan tangannya terlihat bergetar. Sepertinya sesuatu yang buruk telah terjadi pada Gevan.

"Kenapa, Shel? Gevan baik-baik aja 'kan?" ulang Debi mulai tak tenang.

"Gevan udah enggak ada, Bi." Gishela menutup mulutnya dan menangis sesenggukan.

Hanya sekedar untuk berujar seperti itu sudah membuat Gishela merasakan sakit yang luar biasa yang sudah dirasakannya mulai dua hari yang lalu. Bahkan rasanya dialah yang paling hancur saat ini, bukan Debi.

Deg!

Debi menggelengkan kepalanya tak percaya. Ini semua berlalu seperti mimpi bagi Debi. Gevan tidak mungkin pergi begitu saja dari hidupnya. Ini semua benar-benar terasa menyesakkan dada, kata-kata yang keluar dari mulut Gishela seolah menjadi belati dan menusuk dada Debi berulang kali. Bukan, belati itu bukan hanya menusuk dada Debi, tapi juga mengoyaknya sampai tak lagi berbentuk.

Unconditional Love [Complete]Where stories live. Discover now