Part 37

276 44 4
                                    

💎Happy reading💎


"Dengar ya, Van! Di dunia ini tuh, katanya ada tujuh orang yang mirip. Bisa jadi 'kan ketua geng Tengkorak Besi itu mirip sama Fabio. Atau mungkin juga itu sepupu, kembaran, adek, abangnya si Fabio," ujar Debi menerka-nerka.

"Tapi namanya Fabio, deh perasaan," gumam Gevan mencoba mengingat-ingat nama ketua geng Tengkorak Besi.

"Udahlah, Bos! Enggak usah dipikirin! Enggak penting juga," sanggah Rion.

Gevan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Memang benar Gevan pernah satu kali melihat wajah ketua Tengkorak Besi dan Gevan juga pernah mendengar namanya bukan hanya sekali, tapi sudah sering. Waktu Fabio menyambut kedatangan anak baru pun Gevan sempat terkejut melihat wajah Fabio. Walau begitu, Gevan juga tidak menyangkal kalau Fabio terlihat seperti laki-laki polos dan juga Fabio memang pintar. Banyak yang membicarakan Fabio di sekolah.

****

Gevan baru saja pulang mengantar Debi, kini Gevan sudah sampai di rumahnya. Wajah pria tampan ini terlihat begitu kelelahan.

Gevan berniat membuka kunci rumahnya, tapi ada yang aneh di sini. Rumah Gevan tidak terkunci, Gevan yakin dirinya sudah mengunci rumahnya ketika akan pergi sekolah tadi. Tidak mungkin Gevan tidak menguncinya karena Gevan tak pernah lupa untuk mengunci rumahnya.

Gevan memasuki rumahnya dan berjalan perlahan. Jika ada maling, Gevan ingin langsung menangkap maling itu dan menyeretnya ke kantor polisi.

Selama di lantai bawah tidak ada hal yang mencurigakan sama sekali. Gevan jadi berpikir mungkin saja dirinya memang lupa mengunci pintu tadi pagi. Tetapi, pikiran itu tidak berlangsung lama. Saat Gevan menaiki tingkat atas dan menuju kamarnya, samar-samar Gevan mendengar ada sesuatu di dalam kamarnya.

Gevan mulai memelankan langkahnya dan mengendap-endap masuk ke kamarnya. Sebuah sapu pel sudah Gevan pegang erat untuk memukul kalau-kalau di dalam memang ada maling, sapu pel itu tak sengaja Gevan temukan di samping pintu kamarnya. Gevan membuka pintu kamarnya dengan perlahan. Kamar Gevan terlihat sedikit gelap karena tirainya yang tidak dibuka, lampu kamar Gevan juga sedang dalam keadaan mati.

Samar-samar Gevan melihat bayangan hitam tepat di samping tempat tidurnya. Gevan mulai mengayunkan sapu pel itu tinggi-tinggi dan bersiap memukul bayangan itu dengan tenaga ekstra. Tetapi, tiba-tiba lampu kamar Gevan menyala, menampilkan sosok gadis cantik berambut sepinggang dan diberi cat pirang. Tangan gadis itu berada di saklar lampu kamar Gevan.

"Tiara?!" tanya Gevan sambil menurunkan sapu pel yang sempat tertahan di udara.

"Ini beneran kamu, Ra? Mimpi apa gue semalam," kata Gevan lagi. Sapu pel ditangannya sudah luruh ke lantai.

"Kak Gevan!" Gadis cantik yang dipanggil Tiara itu menghambur ke dalam pelukan Gevan. Terlihat jelas dari sorot matanya bahwa dia sangat merindukan Gevan.

"Kok enggak bilang mau ke sini?" tanya Gevan yang sudah membalas pelukan Tiara dengan secercah senyum cerah terpatri di wajahnya.

"Tiara mau ngasih Kakak kejutan. Taunya Tiara mau dipukul pake sapu pel," ujar Tiara dramatis.

"Hehehe ... maaf! Kakak pikir tadi maling."

"Masa cantik gini dibilang maling, sih? Nyebelin." Tiara menarik tubuhnya dari pelukan Gevan.

"Kamu, sih. Ke sini enggak bilang-bilang, giliran udah di sini malah berdirinya di tempat yang gelap."

"Hehehe ... habis Tiara bingung mau ngapain. Tiara udah nunggu Kakak hampir satu jam loh."

"Oh ya? Mmmm ... cara masuk ke sini gimana?" tanya Gevan yang baru menyadari kejanggalan itu.

Tiara memamerkan sebuah kunci di depan wajah Gevan. "Om Bara yang ngasih."

"Papa toh. Kirain bisa nembus dinding."

"Emang Tiara hantu, bisa nembus dinding?"

"Ya enggak, sih, cuma mirip aja."

"A--apa?!"

"Enggak ... kamu cantik," puji Gevan yang sukses membuat Tiara tersipu.

Tiara adalah sahabat Gevan dari kecil, sama seperti Rion, Rayan, dan Bagas. Hanya saja Rion, Rayan, dan Bagas merupakan teman sekolah Gevan, sedangkan Tiara itu sahabat Gevan yang sering bersama Gevan saat di rumah karena dulu mereka tetanggan. Umur mereka yang terpaut satu tahun, dengan Gevan yang lebih tua satu tahun dari Tiara membuat Gevan memperlakukan Tiara seperti adik kandungnya saja, jadi tidak heran jika mereka terlihat begitu akrab.

Usia mereka memang terpaut satu tahun, tapi tidak dengan sekolah mereka. Sama seperti Gevan, Tiara sudah menduduki bangku SMA saat ini. Memang Tiara dulu tidak masuk TK, alias langsung masuk SD. Otaknya yang cukup cerdik membuat Tiara dengan mudah mengikuti setiap pelajaran. Tapi, Tiara selalu disekolahkan oleh orang tuanya di sekolah yang berbeda dengan sekolah Gevan, baik itu SD, SMP, dan sekarang SMA pun mereka berbeda sekolah bahkan beda kota juga.

"Oleh-oleh Bali-nya mana, nih?" tagih Gevan sambil menegadahkan tangannya.

Tiara memang melanjutkan sekolahnya di Bali, sebab orang tuanya pindah ke Bali saat Tiara baru selesai mengikuti UN SMP-nya. Mau tak mau Tiara harus meninggalkan Jakarta bersama kenangan yang ada. Yang paling berat bagi Tiara kala itu adalah meninggalkan Gevan yang sudah dianggapnya sebagai kakak kandung.

"Hampir aja lupa ... Tiara enggak bawa makanan apa-apa buat Kakak, tapi Tiara beliin Kakak sesuatu."

"Apa, tuh?" tanya Gevan tak sabar.

"Tiara ambilin dulu, ya, Kak. Tadi Tiara taruh di bawah."

Setelah berkata begitu Tiara berlari ke luar kamar dan pergi ke bawah untuk mengambil oleh-oleh untuk Gevan yang dia maksud.

Tiara mengambil sebuah kotak berukuran sedang di dekat kaki meja. Ketika Tiara ingin berbalik, ternyata Gevan sudah ada di belakangnya.

"Ah! Kakak ngagetin aja ... ini buat Kakak." Tiara menyodorkan kotak itu kepada Gevan.

Gevan menaikkan satu alisnya dan kemudian buru-buru membuka kotak itu dengan sedikit tak sabaran. Di dalam kotak itu terdapat sepasang sepatu berwarna putih bersih. Sepatu itu tampak indah di mata Gevan.

"Widih ... berapa nih, harganya?" tanya Gevan sambil menimang-nimang sepatu di tangannya.

"Itu enggak penting. Sekarang coba Kakak pake sepatunya!" titah Tiara.

Gevan buru-buru melepas sepatu sekolahnya dan memakai sepatu pemberian Tiara. Sepatunya terasa pas sekali di kaki Gevan. Tiara memang benar-benar handal dalam memilih ukuran sepatu untuk Gevan. Padahal mereka sudah lama tak bertemu.

Tiara mendekatkan sepatunya ketika Gevan sudah selesai memakai sepatu itu. Sepatu yang dikenakan Tiara tampak sama persis dengan sepatu milik Gevan.

"Sama 'kan?" tanya Tiara senang.

"Lah? Kok kakak baru nyadar, ya, kalau sepatu yang kamu pakai juga kayak gini. Jadi ceritanya kita couple, nih?" tanya Gevan sambil merangkul pundak Tiara.

"Iya ... Tiara enggak bisa lama-lama di Jakarta, Kak. Tiara cuma punya waktu dua hari di sini. Lusa sudah harus kembali ke Bali," kata Tiara, kemudian mengerucutkan bibirnya.

"Enggak apa-apa. Kita gunain waktu singkat itu untuk menghabiskan waktu bersama. Sekarang mau main ke mana?"

"Serius, Kak? Kalau gitu Tiara mau jalan-jalan, Kak. Udah lama enggak liat daerah sini."

"Jalan-jalan? Maunya pake apa?"

"Jalan kaki, Kak. Tiara udah capek duduk mulu dari tadi, maunya jalan kaki."

"Kalau gitu tunggu apa lagi? Yuk!" ajak Gevan sambil berjalan dan kembali merangkul bahu Tiara.

Tiara tersenyum senang mendapatkan perlakuan manis dari Gevan. Dari dulu sifat Gevan tidak pernah berubah kepadanya, bahkan setelah tidak bertemu lantaran terpisah jarak.

Tiara merangkul pinggang Gevan dan berjalan dengan senangnya ke luar rumah.

Bersambung ....

Unconditional Love [Complete]Where stories live. Discover now