Part 39

270 43 2
                                    

"Udah ah ... ayo berdiri! Ngapain duduk di trotoar kayak gini?" ujar Tiara sambil berdiri, lalu membersihakan roknya yang sedikit kotor.

Memang sedari tadi mereka terus duduk di trotoar seperti pengemis saja dan malah asyik beradu mulut di trotoar tanpa mempedulikan orang yang berlalu lalang, menatap aneh ke arah mereka karena heran melihat mereka duduk di trotoar seperti itu, tapi tentu juga ada yang tidak peduli sama sekali.

Debi ikutan berdiri dan disusul oleh Gevan. Tetapi, ketika Gevan hendak berdiri kakinya terasa ngilu untuk dipijakkan. Sepertinya kaki Gevan terluka saat mencoba menyelamatkan Debi tadi.

"Auwh! Aduh!" erang Gevan kembali mendudukan dirinya di trotoar.

"Enggak usah drama lagi, deh, Van!" ujar Debi kesal.

"Ini serius ... kaki aku sakit, duh," balas Gevan sambil menarik kaki celananya sebelah kiri untuk melihat pergelangan kakinya yang terasa sakit.

Debi mendecakkan lidahnya, kemudian kembali berjongkok untuk melihat kaki Gevan yang memang terlihat bengkak dan membiru.

"Kayaknya terkilir. Jadi gimana?" tanya Debi sambil memegang kaki Gevan yang sakit.

"Bantu aku berdiri, By ... Ra, kamu juga bantu kakak berdiri!"

Debi dan Tiara buru-buru membantu Gevan berdiri dan memapahnya untuk pindah ke bangku yang berada tidak jauh di dekat mereka duduk tadi. Debi dan Tiara memapah Gevan dengan susah payah ke bangku itu, lalu mendudukkan Gevan di sana.

"Gimana, dong?" tanya Tiara panik.

Debi dan Tiara duduk dengan mengapit Gevan yang mengernyit menahan sakit di pergelangan kaki kirinya. Sepertinya Gevan benar-benar kesakitan kali ini.

"Tunggu!" Gevan mengeluarkan ponsel dari saku celananya, kemudian malah mengaktifkan kamera.

"Mau ngapain?" tanya Debi heran.

"Deketan sini, dong keduanya!" titah Gevan sambil mendekatkan kepala Debi dan Tiara secara bergantian untuk semakin dekat kepadanya.

"Buat apa, Kak?" tanya Tiara tak kalah heran dari Debi.

"Ra! Cium pipi kakak sebelah sini!"--Gevan menunjuk pipi kirinya--"Dan, Baby! Cium pipi aku sebelah sini." Gevan menunjuk pipi kanannya.

"Apa-apaan, nih? Enggak-enggak!" tolak Debi mentah-mentah.

Sebenarnya bukan tidak mau mencium pipi Gevan, tapi jika Tiara juga harus mencium pipi Gevan di hadapan Debi, itu seperti mimpi buruk bagi Debi.

"Ya udah kalau enggak mau. Ra, kamu mau 'kan cium pipi kakak?" tanya Gevan mengalihkan pandangannya dari Debi ke Tiara.

Tiara mengangguk tanda setuju. Mencium pipi Gevan bukan satu hal yang aneh baginya. Dari dulu Tiara sering mencium pipi Gevan, mengingat hubungan mereka yang tak jauh beda dari hubungan antara adik dan kakak.

"Nah ... Tiara mau loh, By. Masa kamu enggak mau? Kalau kamu mau cium pipi aku, aku jamin kaki aku bakal sembuh dan bisa jalan lagi," kata Gevan kembali menatap Debi.

"Boong ... sebenarnya kamu masih bisa jalan 'kan? Jebakan ini namanya." Debi masih keukeh dengan perkataan sebelumnya. Gevan terlihat seperti mengambil kesempatan dalam kesempitan kali ini.

"Ayolah, By, sekaliiii aja. Atau ... kamu mau Tiara yang nyium pipi aku dua-duanya?" tanya Gevan dengan nada menggoda.

"Eh? Bu--bukan gitu. I--iya, iya ... aku mau," kata Debi terbata-bata, kemudian menghela napas gusar.

"Pintar."

Gevan menghidupkan kembali layar ponselnya yang sempat mati dan mulai mengaktifkan kamera depan ponselnya.

Unconditional Love [Complete]Where stories live. Discover now