Epilog

700 54 11
                                    

Di ruangan yang sepi ini Debi bisa merasakan hadirnya Gevan di sampingnya, walau hanya dalam fatamorgana. Di luar sudah gelap, jam di dinding kamar pun sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam. Namun, Debi masih saja belum berhasil memejamkan mata. Berbeda dengan Gishela yang sudah sedari tadi terlelap, dari matanya yang terpejam itu Debi bisa merasakan luka yang sama seperti apa yang ia rasa.

Debi bangkit dari ranjangnya, beralih tempat ke meja belajarnya yang berada di samping meja belajar Gishela. Debi mendudukkan dirinya dengan posisi senyaman mungkin di atas kursi, tangannya sibuk mencari buku diary---buku tulis biasa---yang Debi ubah fungsinya menjadi diary-nya, tapi buku itu masih kosong.

Tangan Debi mulai menyuratkan kata per kata yang ada dalam kepalanya, mencantumkannya dalam beberapa kalimat, menodai lembaran pertama buku yang semula berwarna putih bersih itu.

Hari itu.
Di tanggal dan bulan yang sama, aku kembali kehilangan sosok yang berarti dalam hidupku. Sosok yang mungkin tak bisa kugantikan dengan keberadaan orang baru nantinya. Pada hari itu kebahagiaanku kembali direnggut paksa oleh semesta.

Aku marah? Tentu saja tidak. Kepada siapa diri ini akan marah? Bukan marah, hanya saja rasanya begitu sakit, hingga seluruh tubuhku terasa remuk saat itu juga. Tak hanya itu, aku bahkan pernah ingin mengakhiri hidup ini, menyusul mereka yang telah terlanjur pergi, tapi tetap saja semuanya kupikir ulang. Masih banyak di antara mereka yang menginginkanku di dunia ini. Gishela ... gadis itu masih membutuhkanku, walau tak pernah kupungkiri diri ini pun begitu, membutuhkannya setiap saat.

Aku pernah meraung, menyalahkan sang Pencipta pada apa yang menimpaku kala itu, tapi bukankah sang Pemberi Cobaan hanya akan memberi cobaan pada hamba-Nya yang mampu menghadapinya? Itu artinya aku mampu melewati pahitnya permainan takdir ini bukan?

Tak apa. Sekarang aku baik-baik saja, walau tak sepenuhnya baik. Tapi, setidaknya di dalam hati ini sudah kutanamkan rasa ikhlas yang mendalam, merelakan mereka yang sudah sepantasnya mengikuti jalan takdir yang ada.

Debi menutup rapat buku dengan tulisan tangan yang memenuhi satu halamannya itu. Kembali meletakkan buku itu pada tempatnya, kemudian mengusap kasar air mata yang tak dia inginkan kehadirannya, tapi tetap saja bulir bening itu lolos dari pelupuknya.

Mata yang berair, dada yang sesak, dan seluruh tubuh yang terasa lelah itu dia coba untuk menidurkannya kembali. Membiarkan sang Mimpi merenggut kesadarannya, barang kali di dunia mimpi semua tak sepahit itu. Mata itu mulai terpejam, membuat setetes bulir bening kembali turun dari sudut matanya, dia berharap pagi akan segera menyapa dan kebahagiaan yang lain akan menyambutnya kala itu.

"Aku lelah," gumamnya sebelum tubuhnya benar-benar dikuasi oleh sang Mimpi.

"Aku lelah," gumamnya sebelum tubuhnya benar-benar dikuasi oleh sang Mimpi

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.
Unconditional Love [Complete]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora