Part 48 (End)

673 50 13
                                    

💎Happy reading💎

Dua minggu telah berlalu semenjak kepergian Gevan dan Fabio, hari ini merupakan hari perpisahan kelas XII. Gishela tampak sudah siap dengan pakaian teaternya. Gishela akan berusaha menunjukkan kemampuan terbaiknya hari ini.

Sementara Debi masih setia memejamkan matanya di balik selimut tebal yang menghangatkan tubuhnya itu. Debi merasa malas hanya sekedar pergi ke sekolah untuk menghadiri acara yang menurutnya membosankan itu.

Gishela juga tidak mau membangunkan Debi karena dia tahu Debi sangat lelah, kemudian Gishela buru-buru ke bawah dan segera berangkat ke sekolah setelah lebih dulu berpamitan kepada Gilang dan Alin.

Sesampainya di sekolah, suasana tampak ramai dan heboh. Wali murid dari kelas XII juga sudah banyak yang datang. Sekitar tiga puluh menit lagi acara akan segera di mulai. Gishela menarik napasnya dalam-dalam untuk menghilangkan rasa gugupnya, kemudian bergabung dengan teman-teman teaternya yang lain.

Setelah banyak acara yang terlaksana, akhirnya tiba pada giliran anak-anak teater menunjukkan bakatnya di depan umum. Gishela menekan dadanya yang bergemuruh. Ini pertama kalinya Gishela tampil di depan banyak orang seperti ini.

Untunglah teaternya berjalan lancar. Saat semua anak-anak yang ikut teater memberi salam terakhir pada penonton, mata Gishela tertuju pada kursi khusus yang tidak berpenghuni. Kursi yang dihiasi berbagai pernak-pernik itu merupakan kursi tempat duduknya murid yang mendapat nilai tertinggi tahun ini. Seharusnya Fabio-lah yang akan menduduki kursi kebesaran itu, sebab pada kenyataanya Fabio selalu mendapat nilai terbaik dari kelas X. Tetapi, sekarang kursi itu malah kosong, mahkota dengan bertuliskan 'The Best' yang seharusnya dipakai oleh Fabio itu hanya tergeletak saja di atas kursi tanpa pemilik.

Sekilas Gishela melihat Fabio duduk di kursi yang seharusnya didudukinya itu dengan memakai mahkota itu. Gishela melihat Fabio tersenyum ke arahnya, senyum yang sangat Gishela rindukan. Tanpa sadar air mata Gishela luruh dari kelopaknya. Saat Gishela berkedip, bayangan Fabio itu menghilang dan menyisakan mahkotanya yang masih saja tergeletak di atas kursi.

Lamunan Gishela buyar saat Aldo yang berdiri di sampingnya menyenggol lengan Gishela.

"Buruan jalan!" kata Afdol sambil mendorong tubuh Gishela.

Ternyata anak-anak teater yang berdiri paling ujung kanan sudah bergerak untuk meninggalakan pentas teater. Gishela dan Afdal sebagai pemeran utama tentu mendapat posisi paling tengah. Pada saat tiba giliran Gishela melangkah keluar, Gishela justru masih terdiam menatap kursi khusus itu.

****

Debi baru saja selesai mandi, rambut sebahunya dibiarkan tergerai begitu saja. Debi berniat mendatangi pemakaman Gevan hari ini, sudah seminggu Debi tidak lagi menemui makam Gevan itu. Rasanya Debi sangat merindukan Gevan.

Debi berjalan meninggalkan rumah yang sunyi itu dan terus melangkah menuju pemakaman umum. Jarak dari rumah ke pemakaman yang tidak terlalu jauh membuat Debi tidak harus kesusahan pergi ke sana.

Debi berjalan dengan menenteng keranjang berisi bunga kembang berwarna merah. Seiring kakinya melangkah, air matanya juga ikut keluar. Semakin dekat kaki Debi melangkah ke pemakaman, semakin deras pulalah air mata yang keluar dari kelopak matanya.

Debi berjongkok di samping makam Gevan dan tersenyum pahit menatap nisan dengan nama Gevan Sanjaya Mahesa itu. Dada Debi terasa ngilu saat itu juga, air matanya sudah benar-benar membanjiri kedua pipinya. Dengan tangan bergetar, Debi menaburkan bunga yang dibawanya itu ke pemakaman Gevan.

"Van! Aku datang ... kamu gimana di sana? Aku rindu saat-saat kebersamaan kita dulu, Van. Apa kamu enggak merindukan aku?" Debi menangis sesenggukan di samping pemakaman Gevan.

Unconditional Love [Complete]Where stories live. Discover now