Part 43

290 44 9
                                    

💎Happy reading💎


Kepala Debi mendadak pusing kala mengingat kejadian sepuluh tahun silam yang merenggut nyawa ibunya, sekaligus yang membuat Debi benci kepada ayahnya. Tubuh Debi mulai gemetaran.

"L--lo ... tau dari mana cerita itu?" tanya Debi gugup.

"Karena waktu kejadian itu gue ada di sana," jawab pria itu, kemudian tertawa renyah.

"Si--siapa lo sebenarnya?" tanya Debi, perasaannya menjadi tidak enak.

"Gue? Lo bisa liat mata gue 'kan? Dulunya mata ini menjadi kebanggaan bagi gue karena nyokap gue bilang, mata gue ini mirip banget sama mata bokap gue. Lo liat?! Tapi semuanya berubah kala bokap gue ninggalin gue. Saat itu gue jadi membenci mata hitam ini. Bukankah mata kita mirip?" jelas pria itu sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Debi untuk memamerkan mata hitam legamnya.

Mata itu sangat indah, bahkan dengan melihat matanya saja sudah bisa membuat Debi takjub akan keindahan matanya, dan memang Debi juga memiliki mata hitam legam persis seperti mata pria di hadapannya.

"Kalau lo benci sama mata lo, kenapa enggak mata lo aja yang lo tutup? Lalu apa salahnya jika gue punya mata yang mirip sama mata lo? Banyak kok di luaran sana orang-orang yang memiliki mata hitam legam."

"Oh, ya? Tapi bagaimana jika mata hitam legam gue ini adalah keturunan?"

"Emang apa salahnya jika itu keturuan? Mata gue juga keturuan dari papa gue."

"Yaps! Tepat sekali. Bukankah kita memiliki banyak kesamaan?"

"Itu bukan kesamaan. Itu kebetulan," jawab Debi mulai tersulut emosi.

"Lo ingat kejadian setelah ibu muda itu melompat dari atap? Bukankah saat itu anaknya pingsan, ya kalau enggak salah? Lalu apa yang terjadi setelah anak itu bangun?" tanya pria itu dengan penuh misteri di balik pertanyaannya. Entah siapa pemilik wajah di balik topeng hitam itu.

Seketika Debi mencoba mengingat kejadian sepuluh tahun lalu yang sebenarnya ingin sekali dilupakannya. Entah kenapa pria di depan Debi ini penuh misteri sampai-sampai Debi yang tidak ingin mengingat kejadian itu pun berusaha mengingat kembali. Karena Debi beranggapan pasti dia akan memiliki jawaban pertanyaannya tentang siapa pria di depannya itu. Karena jelas pria itu berkata ada dirinya saat kejadian kelam sepuluh tahun lalu itu.

****

Debi kecil membuka matanya dengan perlahan. Dilihatnya ruangan serba putih dengan jarum infus yang menempel di tangan kanannya. Debi memegang kepalanya yang terasa pusing, hingga Debi mendengar suara perdebatan dari arah luar ruangan serba putih itu.

"Mas! Kirana udah meninggal. Sekarang kamu enggak punya pilihan lain lagi bukan? Kembalilah ke rumah kita yang dulu, Mas!" Samar-samar Debi mendengar suara wanita yang tadi dilihatnya sedang berdebat dengan ayahnya.

"Tidak, aku masih punya satu anak perempuan. Aku akan menjaganya sendirian, jadi aku mohon sama kamu. Jangan menggangguku lagi!" teriak Ferdi yang sejenak melupakan dirinya yang sedang berada di rumah sakit.

"Papa! Aku butuh Papa. Aku enggak mau Papa pergi ... kembali ke rumah, ya, Pa," mohon anak laki-laki kecil yang tadi terus memegang tangan ibunya itu.

Debi bisa melihat keberadaan anak laki-laki itu dari selah-selah pintu kamar yang sedikit terbuka dan mencoba menguatkan pendengarannya untuk bisa mengetahui apa yang sedang ayahnya debatkan dengan perempuan satu anak itu.

"Enggak. Papa enggak bisa, Sayang."

"Mas! Dia ini anak kamu, darah daging kamu. Kenapa kamu tega bicara seperti itu kepada anakmu sendiri?"

Unconditional Love [Complete]Where stories live. Discover now