Part 35

306 44 0
                                    

💎Happy reading💎

"Kenapa gitu?" tanya Debi dengan ekspresi wajah bingung yang masih berada dalam pelukan Gevan.

"Kamu masih beruntung bisa ngerasain kasih sayang seorang ibu, walau sebentar. Kalau aku, aku 'kan pernah bilang mama meninggal saat melahirkan aku," ujar Gevan lirih, kemudian mengurai pelukan mereka.

"Aku baru ingat. Ah, maafkan aku. Seharusnya aku bersyukur masih bisa ngerasain kasih sayang seorang ibu,"

"Ah, sudahlah! Mending sekarang Baby istirahat dulu." Gevan beranjak dari ranjang dan setelahnya berdiri di samping ranjang.

Sebenarnya Gevan tidak tahan dalam keadaan mewek seperti ini. Dirinya dan Debi sama-sama anak piatu. Melihat Debi yang sering memarahinya membuat Gevan sedikit merasa risih jika tiba-tiba berbicara sesuatu yang mengandung bawang seperti sekarang ini. Biasanya Debi selalu terlihat kuat, sering marah-marah, dan tak segan menyerang Gevan, jadi melihat Debi seperti sekarang ini membuat Gevan seolah kehilangan Debi-nya yang dulu.

Debi menganguk-anggukkan kepalanya, kemudian merebahkan tubuhnya di kasur empuk milik Gevan, kepalanya masih terasa pusing, jadi Debi mengiyakan saja perintah Gevan. Ini yang kedua kalinya Debi tidur di kasur ini.

Gevan merapikan selimut Debi, kemudian mengecup singkat dahi Debi.

Deg!

Jantung Debi berdegup kencang mendapat ciuman di dahi dari Gevan. Seketika kejadian sepuluh tahun lalu itu lagi-lagi terlintas begitu saja dalam kepalanya. Saat sebelum Kirana melompat, dia memeluk Debi dan kemudian mengecup dahi Debi lama, persis seperti Gevan yang baru saja memeluknya dan kini mencium dahinya. Dengan sikap Gevan seperti itu saja sudah membuat Debi takut dan khawatir akan kejadian masa lalunnya itu terulang lagi. Bagi Debi, cukup kehilangan Kirana saja dalam hidupnya sebagai orang yang begitu dicintainya, Gevan jangan lagi harus meninggalkannya. Debi tidak mau itu terjadi.

"Gevan!" Debi kembali terduduk saat Gevan baru saja mencium dahinya.

"Yah? Kenapa lagi?" tanya Gevan kembali duduk pula di ranjangnya.

Debi kembali memeluk Gevan, kali ini lebih erat dari pelukannya yang tadi. Rasa takut akan kehilangan orang yang begitu disayanginya di dunia ini membuat Debi takut hanya sekedar berjauhan dari Gevan.

"Jangan pergi! Jangan tinggalin aku! Aku mohon," lirih Debi sambil menyembunyikan wajahnya di dada bidang Gevan.

Gevan begitu heran dengan tingkah aneh Debi. Tiba-tiba saja Debi berperilaku seperti anak-anak.

"Eh? Ada apa, By? Jangan pergi gimana maksudnya? Aku enggak bakal tinggalin kamu kok. Aku cuma mau ke sofa itu doang," kata Gevan sambil menunjuk sofa di kamarnya itu, walau Gevan tahu Debi tidak melihat arah telunjuknya.

"Pokoknya kamu harus janji untuk tidak pernah ninggalin aku. Aku takut sendirian lagi," racau Debi. Padahal Debi tidak pernah sendirian selama ini karena masih ada Ferdi, ayahnya yang selalu menemani, tapi Debi selalu mengganggap Ferdi tidak ada.

Gevan terkekeh pelan. "Iya, aku janji. Sekarang kamu istirahat, ya!"

Gevan melerai pelukannya dan kembali menidurkan Debi. Gevan kembali terkekeh pelan mengingat tingkah aneh Debi barusan. Kalau dipikir-pikir, Debi lebih cocok bersikap seperti itu daripada bersikap tomboy seperti biasa karena wajah Debi yang terkesan imut.

Setelah memperbaiki selimut Debi, Gevan berjalan ke sofa untuk beristirahat di sana, Gevan juga lelah saat ini.

Debi mulai memejamkan matanya kembali. Rasa was-wasnya masih terasa dalam dirinya, tapi Debi mencoba menepis itu semua dengan cara tidur agar dirinya tidak harus memikirkan apa-apa.

Unconditional Love [Complete]Where stories live. Discover now