Chapter 50 | Akhir

679 107 35
                                    

[Fajri]

Sudah satu bulan April pergi. Sekarang gue hanya berdua dengan Nissa, sahabat gue yang paling cerewet, paling nyebelin. Tapi itu dulu, sekarang sudah berubah menjadi Nissa banyak diam, banyak melamun. Tidak ada lagi Nissa yang buat gue naik tensi, tidak ada lagi Nissa dengan suaranya yang sebelas dua belas dengan knal pot motor bebek. Nissa benar-benar berubah. Padahal, gue kangen banget Nissa yang ceria kayak dulu, yang selalu cari gara-gara sama gue.

Seperti sekarang, gue sama Nissa ada di kamar April. Nissa duduk di meja belajar milik April sambil memangku pipi dengan kedua tangannya. Pandangannya lurus menatap pigura foto kami bertiga, lebih tepatnya foto siluit gue, Nissa dan April saat liburan di pantai. Di foto itu kami terlihat loncat bersama, dan yang gue genggam hanya tangan Nissa. Saat itu pertama gue kena omel April, sempat mau take ulang, tapi sunset keburu hilang. Andai saja waktu bisa diulang, gue bakalan genggam tangan April juga.

Dari tadi gue hanya memperhatikan Nissa dari balkon. Dia di dalam gue di jendela. Gue menyeret langkah menghampiri Nissa dan berdiri di sampingnya, gue memegang bahunya. Nissa berujar, “Gue kangen April.”

Gue tersenyum lalu mengusap pundaknya. “Sama, gue juga kangen. Dan gue kangen sama lo ... sama lo yang dulu.” Nissa mendongak menatap gue yang berdiri di sampingnya. Tiba-tiba Nissa melingkarkan tangannya di perut gue, memeluk dan menenggelamkan kepala di perut gue.

Ada satu rahasia lagi yang belum terkuak kebenarannya. Tahu apa? Perasaan gue ke Nissa. Hari itu seharusnya semua tahu, sebelum akhinya April pergi.

Dengan setia, gue terus mengusap bahu Nissa supaya dia tenang. Tapi gue takut Nissa mendengar detak jantung gue yang sudah berdebar tak karuan. Gue melempar mata ke rak meja belajar April, gue penasaran sama buku diary hitam milik dia. Perlahan uluran tangan gue berhasil memegang buku tersebut. Nissa yang merasakan pergerakan gue, melepaskan pelukannya.

Nissa ikut berdiri, dia mengernyitkan dahinya. “Harusnya lo nggak ambil buku itu,” ujar Nissa ingin merebut buku diary April, tapi gue tahan.

Ada secarik kertas di cover buku ini, gue langsung baca. “Nis, lihat ini,” kata gue memberikan kertas itu kepada Nissa. Ah, mata Nissa sudah berkaca, jangan sampai Nissa nangis lagi, gue nggak sanggup lihat cewek yang gue sayang luahin air matanya terus-menerus.

Hai Kak Nissa, Aji!
Kalian berdua boleh kok baca buku diary aku, tapi, ada syaratnya. Kalian boleh baca kalau aku udah nggak ada di sisi kalian, saat aku pergi jauh, jauh ke tempat yang nggak bisa digapai sama semua orang, tak terkecuali kalian. Tempat di mana aku nggakak akan ngerasain rasa sakit fisik dan batin lagi.
Dan sekarang waktu itu sudah tiba.
Satu lagi, tolong, kalian harus baca ini di rumah pohon. Harus di atas, Kak Nissa harus naik.

Gue membiarkan Nissa baca sampai selesai, ada satu tetes air mata jatuh di pipinya. Tiba-tiba Nissa menarik tangan gue. “Kita ke rumah pohon sekarang!”

***

Setelah sampai kebun pinus, Nissa langsung turun dari motor dan langsung berlari menuju ke rumah pohon. Yang jaraknya cukup jauh dari parkiran.

“Nis, lo yakin mau naik?”

Nissa memberikan buku diary milik April ke gue. Dia mendekat ke tangga kayu, ada perasaan takut dalam diri gue, takut Nissa terpeleset dan jatuh. Tapi cepat-cepat gue buang pikiran konyol itu. Nissa memandang tangga-tangga kayu itu dari bawah hingga atas. Seperti memantapkan keinginannya.

“Aji, lo lihat ke sana! Jangan ngintip!” Nissa menyuruh gue untuk berbalik badan. Iya, Nissa memang selalu menggunakan rok selutut. Tapi gue nggakak mungkin kalau harus lihat ke belakang,  gue harus pantau Nissa naik dengan selamat.

Tentang Kita | FAJRI UN1TY [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang