Chapter 06

1K 279 136
                                    

[April Abrila]

Kemarin aku teralu bawa perasaan perkataan Aji, hm ... sebetulnya aku selalu baper, sih. Seharusnya kemarin aku mengabaikan perkataannya seperti biasa, tapi mungkin karena efek rasa pusing yang menjalar di kepalaku, aku jadi tidak bisa menahannya. Kenapa air mata aku juga ikut berperan? Apalagi aku kepergok nangis oleh Kak Nissa.

Aku kira Kak Nissa akan mengomeliku karena aku berani menangis, ternyata Kak Nissa malah membiarkan dan menyuruh aku untuk menangis. Kak Nissa juga akan menghapus perjanjian kita yang berbunyi "Gak boleh nangis dihadapan kita."

Aji minta maaf sama aku, seharusnya aku yang minta maaf sama dia. Tapi, iya, sudahlah aku ikuti semua. Sepulang dari rumah pohon yang berada di kebun pinus milik Ayah Ridwan, Aji sama Kak Nissa memberi aku satu permintaan, dan aku harus mengabulkannya. Kata mereka permintaannya simpel banget, aku terima saja permintaan mereka.

Dan ternyata mereka meminta aku untuk tidak sekolah hari ini. Mereka bilang aku harus istirahat. Terpaksa aku iyakan, meskipun hari ini aku melanggarnya.

Aku sudah memakai seragam, aku juga sudah menyiapkan surat sakit. Tentunya Bi Sri, asisten rumah tanggaku yang aku ajak kerjasama dalam hal ini karena Mamah sama Papah entah dari kapan sudah berangkat ke kantor. Biarlah sudah biasa.

Aku menyembunyikan tubuhku di bawah selimut pura-pura masih tertidur, tak lama Kak Nissa membuka pintu kamarku dan berderap menghampiriku. Aku dapat merasakan Kak Nissa duduk di tepi rangjangku, dia memegang keningku. Jujur aku takut Kak Nissa tiba-tiba menyibakkan selimut dan melihat aku sudah memakai seragam sekolah. Pasti dia bakalan marah besar kepadaku.

Tidak aku pungkiri rasa pusing yang melanda kepalaku masih kentara aku rasakan. Apalagi sekarang aku merasakan suhu tubuhku yang sangat panas. Aku merasakan sesuatu yang dingin meyentuh keningku yang panas, sepertinya Kak Nissa mengompresku. Aku ingin sekali memeluk cewek cantik yang ada di hadapanku sekarang, ingin mengucapkan terimakasih. Tapi sebisa mungkin aku menahannya, dari pada aku tertangkap basah.

Cukup lama, Kak Nissa keluar kamarku, aku masih belum berkutik. Tadinya aku tidak ingin bangkit dari sini, aku akan mengurungkan niatku sebelumnya, tapi aku harus sekolah. Ada ulangan sejarah hari ini.

Setelah cukup lama Kak Nissa benar-benar pergi, aku bangun dan diam-diam mengintip dari jendela kamarku, aku lihat Kak Nissa sudah masuk ke rumah Aji. Ini saatnya aku bergegas pergi ke sekolah. Aku memutuskan diantar Mang Ajo, supir Papah. Karena aku tidak kuat membawa motor sendiri, tidak mau nanggung resiko juga.

Ini kali pertamanya aku menjalankan aksi seperti ini. Nggak bohong kalau aku takut, takut ketahuan. Aku turun dari mobil dan segera memasuki sekolah. Seperti biasa aku memakai jaket couple yang sama dengan Aji dan Kak Nissa.

Aku segera menyeret kakiku untuk menuju ke kelas, koridor masih cukup sepi belum banyak yang datang, parkiran sekolah juga masih lenggang. Aku mendudukkan diri di bangku milikku setelah aku berhasil masuk kelas, hanya aku yang baru datang.

Tidak lama seseorang masuk dan duduk di sampingku. "Pagi April," sapanya aku menjawab tanpa melihat ke arah Yulia teman satu bangkuku yang tahan dengan sikapku yang cuek kepadanya. Kami sudah dua tahun satu kelas, sudah dua tahun juga satu bangku.

Aku heran kenapa Yulia mau berdampingan denganku, dia juga yang mengajukan aku sebagai ketua kelas, dan anehnya semua menyetujui karena kala itu tidak ada yang mau untuk menjadi ketua kelas.

"Loh, kamu sakit April? Pucet banget mukanya," kata dia melihat ke arah ku. Dia ingin memegang keningku, tapi aku menolaknya.

Aku menggeleng, "nggak, aku kan emang gini," jawabku enteng. "Uhm ... Yul? Aku boleh minta tolong?" pintaku sedikit ragu memberanikan diri kepadanya.

Yulia pun mengangguk, sepertinya dia sangat senang aku ajak bicara. "Boleh, boleh banget. Kenapa?" tanyanya sangat antusias dan sepertinya tidak sabar.

"Nanti kalo ada Kak Nissa sama Aji ke sini nganterin surat, kamu terima aja, ya, Yul. Jangan bilang apa-apa kamu cukup terima suratnya aja, jangan bilang aku ada di sini. Nanti aku bakalan ngumpet di belakang, pasti bentar lagi mereka ke sini," jelasku. Ini kali pertama aku berbicara sepanjang ini kepada seseorang selain kepada Aji, Kak Nissa, saat presentasi, Bunda dan segelintir orang rumah.

"Tap–."

"Mau bantuin, nggak?" Aku memotong ucapan Yulia.

"Iya-iya, mau kok," balas Yulia sambil tersenyum. Orang-orang mulai berdatangan dan aku segera mengumpat di bangku paling belakang. Aku berjongkok, mataku mengarah ke pintu dan bangku milikku. Lagi dan lagi aku takut ketahuan.

Aku mendegar ketukan pintu dan suara Aji, diikuti suara teman satu kelasku yang menyebutkan nama Aji. Ia masuk ke dalam kelasku diikuti Kak Nissa. Gak sopan banget main masuk, padahal belum ada yang menyuruhnya untuk masuk. Kalau saja aku sedang tidak ngumpat ingin rasanya aku mengomelinya.

Aku berjaga takut Ari atau Sintia si pemilik bangku ini datang. Kalau Ari atau Sintia melihat aku di sini pasti mereka kaget dan menyebutkan namaku. Dan semuanya akan kacau. Aji berjalan ke arah bangku Yulia, dia memberikan sebuah amplop berisi surat palsu yang aku buat.

Aku dapat mendengar suara Aji. "Yulia?" tanya Aji dengan suara sok dinginnya, padahal kalau ngomong sama aku atau Kak Nissa nadanya tidak seperti itu, "surat sakit April," lanjut Aji memberikan amplop itu kepada Yulia.

Aku melihat Yulia mengambil amplop tersebut. "Oke, Kak Aji, Kak Nissa," kata Yulia sambil tersenyum. Yang aku lihat Kak Nissa mengangguk sambil berterimakasih tapi Aji pergi begitu saja, aku yang melihatnya sedikit kesal sendiri. Apa orang lain juga kesal dengan sikap aku selama ini? Kemungkinan besar ... iya.

Oh, iya, aku memanggil Aji tidak memakai embel-embel 'Kak' karena kita lahir di tahun yang sama. Dan Aji juga menolak kalau aku memanggilnya 'Kakak'.

Setelah cukup aman aku keluar dari tempat persembunyian, aku melihat dulu ke luar dari jendela takut Aji sama Kak Nissa balik lagi. Aku menghembuskan napas lega, lalu menghampiri Yulia. "Makasih, ya, Yul," kataku dengan senyum yang sangat tipis, mungkin itu bukan sebuah senyuman. Aku masih mengusap-ngusap dadaku lega.

Yulia kembali mengangguk sambil tersenyum lebar kepadaku. "Sama-sama April."

Kududukkan badanku di kursi milikku, melepaskan tas yang masih melekat dipunggung lalu mengeluarkan buku sejarah. "Aku izin pake jaket," kataku masih tidak menoleh, tapi Yulia tahu aku sedang berbicara dengannya.

"Iya, nanti aku buatin surat izinnya ... sebentar," balasnya mulai menuliskan surat izin memakai jaket untukku. Yulia adalah sekretaris sekaligus seksi absensi di kelasku.

"Yul ... maaf kalo aku selalu buat kamu canggung."

Tiba-tiba Yulia mengusap bahuku. "Aku nggak ngerasa, kok. Santai aja atuh sama aku mah," balasnya dengan nada sundanya.

Aku hanya menghembuskan napas kasar, jujur lagi aku benar-benar tidak enak, dan kalian harus tahu ini kali pertama aku berbincang banyak dengan Yulia selain sedang berdiskusi.

Bel masuk berbunyi, semua mulai memasuki kelas, aku segera memimpin do'a sebelum guru mata pelajaran masuk. "Sebelum memulai kegiatan alangkah baiknya kita berdo'a ... berdo'a, mulai!" intruksiku. Saat menunduk kepalaku semakin pusing, seperti ada sesuatu yang menghantamnya keras. Aku pun menyudahi kegiatan berdo'a.

Karena sekolahku mengikuti kegiatan GLS WJLRC (Gerakan Literasi Sekolah West Java Leader's Reading Challenge). Sebelum kondusif pembelajaran seluruh siswa diwajibkan membaca buku selama 15 menit, dan menuliskan review-nya diformat yang sudah diberi. Aku membuka novelku dan mulai membacanya, dan aku juga tidak segan untuk menuliskan siswa yang tidak membawa buku bacaan. Termasuk menuliskan namaku sendiri, kalau memang aku lupa membawa.

Tiba-tiba ada setetes cairan berwarna merah jatuh ke lembaran novelku. Aku merasakan cairan kental itu keluar dari hindungku. Segera aku mengambil tisu dan membekap hidungku, aku segera meminta izin kepada Yulia untuk ke toilet.

oOo

Jangan lupa klik bintangnya. :) Bantu share cerita ini ke temen-temen kalian, ya!

21 Juni 2020.

Tentang Kita | FAJRI UN1TY [SELESAI]Where stories live. Discover now