LOM - 4

1.2K 191 24
                                    


Ia sudah kena Sanksi akibat kelalaian pada pasien. Maka dengan itu Felix tidak mengenakan pakaian Biru khas Terapis yang biasa ia gunakan.

Hanya menggunakan Jaket rajut mengendap dibelakang Han temannya minta diantar Ke ruang isolasi.

Felix memandang miris dari jauh.

Alat alat pembantu itu menancap sempurna pada tubuh yang kian kurus dilihat dari lama lama.

"Tuan Hwang akan di operasi besok. Baik di Otak maupun di Syaraf pinggul"

Felix mengerti kata Han.

"Kau tidak beminat mendekat?"

Felix menggeleng. "Pantaskah aku?"

Dan Seharian esoknya yang dilakukan Felix hanya duduk pada Gereja dibangku yang sama saat ia kesana bareng Tuannya.

Namun keadaan berbeda.

Hyunjin sedang benar benar menghadap Tuhan. Di operasi besar besaran.

Maka yang bisa Felix lakukan hanya memohon perlindungan.

"Father, I have to thank you for looking beyond my faults and for loving me unconditionally. Forgive me when I fail to love others in the same way—" Felix menangis Pilu dalam keteridiaman. Tautan dijemarinya makin Erat seraya doa yang dianggungkan pada sang maha Sempurna.

"Saya memohon ampun atas segala dosa. Memohon dengan sangat bahwa Tuan Hyunjin akan baik baik saja. Hidupnya sedang dihadapkan padamu. Tolong kembalikan pada saya Tuhan. Kali ini saja. Sungguh saya tidak punya siapa siapa lagi selain dia"

Dan Felix menutup Doa dengan Tangis yang ia Pendam dalam diam menelungkupkan Kepala pada perlipatan tangan. Sungguh ia tak sanggup menegadah.

Beberapa Minggu. Felix tidak Muncul di Rumah sakit.

Mengundurkan diri adalah jalan satu satunya.

Menurut Han teman yang bekerja sebagai Perawat di bangsal. Tuannya baik baik saja. Bahkan sudah mencoba berjalan dengan Walker walaupun tertatih.

Felix lega mendengar. Meskipun hanya kabar berupa pesan.

Ia tak berani muncul. Apalagi dihadapan Bunda yang begitu baik hati dan pasti patah mengetahui bahwa Felix penyebab anaknya harus melewati kematian Sehari.

Maka dengan Itu Ia hanya berserah pasrah.

Atau Felix ini hanya lari dari masalah.

Entahlah.

Sore itu. Sudah masuk musim gugur. Angin bertiup tidak terlalu kencang.

Yang dilakukan adalah Membawa makanan untuk anak panti yang selalu Ia kunjungi setiap dipenghujung minggu kali ini terasa berbeda.

Makanan yang ia bawa tak begitu banyak. Menyesal, tidak memberi sedikit lebih layak pada Adik adiknya yang masih ada dalam asuhan.

Iya. Felix itu anak buangan. Tidak tau Ibu dan Bapak. Besar di Panti asuhan diujung Kota paris yang terkenal romantis. Tidak pernah diangkat anak oleh siapapun.

Dan saat memasuki usia legal. Felix yang tidak mau menjadi beban memutuskan keluar. Walaupun dengan kerja yang serabutan. Tapi dapat hidup dengan pengahasilan minumin itu juga sedikit menyisihkan untuk saudaranya.

Melewati lorong utama. Felix bertemu Miss Tara yang menjadi salah satu pengurus.

"Anak anak menunggumu seperti biasa"

"Ada dimana?" Kata Felix dengan bersemangat.

"Ditempat biasa. Makasih Sudah selalu menyempatkan datang Felix"

"Miss. Saya yang harusnya berterimakasih—"

Kata Felix berlalu sambil mengucapkan terimakasih pada Wanita paruh baya penjaga. Kemudian berlalu melewati lorong lorong kamar ke bagian paling Ujung ruangan.

"Felix—"

Felix menoleh. Miss Tara memanggilnya lagi—

"Terimakasih"

Kata Miss Tara yang masuk ke rungu Felix dengan Sempurna.

Sebelum siap membuka. Lantunan permainan melodi apik dari petikan senar itu terdengar.

Felix menautkan Alis nya terheran heran. Adik adiknya tidak pernah ada yang bisa bermain gitar.

Maka dengan Senyuman Yang coba Felix berikan seperti biasa. Ia membuka Pintu mahoni coklat didepannya perlahan.

Jantungnya bertalu kencang. Debar tak karuan. Didepannya ada sang Tuan yang tersenyum senang sambil bernayanyi didepan anak anak dengan Tongkat hitam yang ada disamping lengan.

Dan kresek buah buahan yang jatuh dari tangan Felix. Memecah keasyikan.

Hyunjin itu menoleh. Tersenyum dengan rupawan. Sehangat Mentari yang menyinari.

"Hai—apa— kabar—" berusaha bangkit susah payah sambil memberi salam. Felix tetap dian dan tidak bergeming membantu Hyunjin yang kesusahan.

Tetap diam tak percaya.

Hyunjin melangkah perlahan dengan kedua Tongkat dikiri kanan. Menghampiri Felix dengan Senyuman walau diselingi dengan sedikit rintihan.

Tepat 30 senti di depan Felix Lee. Hyunjin membentangkan tangan lebar.

Felix ragu maju selangkah. Merasa tidak pantas menerima peluk hangat.

"Kemarilah. Aku tidak bisa berlama lama—" dan Hyunjin akhirnya limbung kedepan.

Maka dari itu Felix dengan sigap menangkap dan terdengar bisikan dari sang Tuan. "Hehehe. Long time no see Felix"

Felix sudah tidak bisa menahan tangis. Jelas sudah pecah ketika itu juga. Menelungkupkan kepala serta mata yang basah pada Pundak Hyunjin yang sudah terlihat lebih kokoh.
Memegang Erat jaket rajut tebal milik Sang Tuan dipunggung.

Merasa sedikit tenang saat punggung nya ditepuk pelan.

"Jangan nangis. Saya baik baik saja" bisik Hyunjin pelan. Membisikkan sedikit kata penenang.

Anak anak yang didalam ruangan tau kalau dua orang dewasa itu butuh tempat dan waktu. Maka yang bernama Sean terkecil umur 5 tahun itu menepuk nepuk pelan punggung Felix mengatakan bahwa "its okay to cry"

Keadaan Sunyi dan tenang. Felix melepas pelukan. Menunduk dalam dalam.

Demi tuhan. Matanya sembab gak karuan.

"Saya meminta alamat kamu— tapi tidak diberi. Tapi saat itu seorang perawat bernama Han menghampiri saya kalau saya hanya perlu datang kesini dan menunggu.."

Jeda sejenak.

Hyunjin berdehem dan melanjutkan sambil memegang kuat tongkat. Sebagai penumpu tubuh.

"Felix. Tolong jangan hilang, saya butuh sandaran"

Felix kini menatap Hyunjin. "Saya tidak punya muka kalau menatap tuan lagi. Kejadian itu membuat—" Felix kembali terisak.

"Bukan salah kamu. Sudah memang terjadi. Seperti yang kamu ajarkan. Setiap rencana Tuhan punya makna bukan?"

Dan Felix mengangguk atas pertanyaan Hyunjin.

"Felix. Saya butuh orang buat leaning in. And the answer its you. I want you here for the rest of my life Fel. Please come back. Eventho you've never being mine to begin with. Karena saya tau kalau saya akan ca—"

Felix maju.

Menatap kedalam manik gelap sang Tuan.

Satu detik. Dua detik. Tiga detik.

Ah ternyata tidak ada jalan keluar.

"Tuan. Anda itu sempurna—

Setidaknya untuk saya"

End

ARENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang