Chapter 1

6K 554 25
                                    

Benda kecil bernama hati
.
.
.
🍁🍁

Aku menatap permen kaki yang berada di dalam toples. Sedari tadi belum ada orang yang menghampiri warungku, padahal, tempat ini termasuk strategis jika untuk berjualan, biasanya juga tidak se sepi ini.

Aku kembali fokus membaca buku 'FIQIH WANITA'. Meskipun terlihat sepele, namun, fiqih wanita sebenarnya sangat penting untuk edukasi wanita di zaman sekarang.
Memang terkadang kita mengetahui bahwa, 'gak dosa kok kalau begini, kan aku gak tau'. Kalimat itu memang sudah familiar di zaman sekarang.

Memang tidak berdosa jika kita melakukan dosa yang kita tidak tahu bahwa apa yang kita lakukan itu dosa. Namun, lebih dosa lagi jika kita tidak mencari tau tentang apa yang kita lakukan.

Percaya tidak percaya, bahwa malaikat itu benar-benar ada. Mereka benar-benar mencatat segala hal yang kita lakukan, tidak peduli baik atau buruk, Terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.

"Assalamualaikum," seseorang membuatku mendongak. Aku tersenyum kecil melihat wajahnya.

"Mas Azam! Ngagetin aja!" Kataku lalu menutup buku 'Fiqih wanita' yang bersampul ungu itu. Lelaki itu tersenyum renyah. Jika saja dia berumur lebih tua lima tahun saja dariku, mungkin dia akan ku sebut sebagai ayah.

"Baca buku terus kerjaannya, nih ada titipan rendang dari umi," mas azam menyodorkan rantang yang katanya berisi rendang. Aku mengambilnya.

Meskipun keluargaku dan keluarga mas Azzam tidak memiliki hubungan darah, Kami sudah seperti keluarga karena kedekatan kami.

"Makasih, mas," kataku lalu meletakkan rantang itu di atas meja. Mas Azam mengambil buku bersampul ungu milikku.

"Wah, sebelum jadi istri memang harus baca kayak gini, nih," katanya lalu membalik-balikkan bukunya. Mas Azam, pria yang memiliki kulit hitam manis, hidung mancung, mata lebar, dan berhati baik tentunya sudah mencuri hatiku sejak enam tahun lalu.

Aku menyimpannya dengan baik. Namun, sepertinya dia hanya menganggapku sebagai adiknya saja. Karena setelah abi meninggal dua tahun yang lalu, ia baru menunjukkan perhatian-perhatian kecil yang mungkin adalah perasaan kasihan.

"Apaan, sih mas..," kataku menunduk malu. Aku selalu mendoakan kebaikan untuknya, bahkan jika aku tidak bisa menjadi gadis terbaik untuknya, aku ikhlas.

"Salam in buat umi nya mas Azam, makasih yaa," kataku lalu kembali duduk di kursi. Mas Azam masih berdiri disana seperti ada yang mau di sampaikan. Beberapa saat ia tersenyum manis.

Sungguh, aku tidak kuat dengan senyuman itu. Ternyata memang benar bahwa cobaan paling berat untuk wanita adalah pria tampan. Hal itu sudah tidak perlu di tanyakan lagi.

Aku pernah dengar bahwa perasaan itu berasal dari dua arah. Arah kebaikan, dan arah keburukan. Jika dari arah kebaikan, ia akan cenderung menjaga atau menghalalkannya. Namun, sebaliknya, jika dari arah keburukan ia akan cenderung ingin memiliki dengan cara apapun, tidak peduli walaupun caranya salah.

Aku segera melihat ke arah yang lain agar tidak terlena dengan senyumannya. Kadang aku takut terlalu berharap dengan seseorang yang sama sekali tidak mengharapkan ku.

Itu lah mengapa aku memilih diam. Mencintai dalam diam lebih indah, karena dalam diam tidak ada penolakan.

"Kamu beneran gak mau kuliah lagi?" Tanya mas Azam. Aku menghela nafas ketika lagi-lagi pertanyaan itu yang keluar dari mulutnya. Sudah berapa kali dia menanyaiku dengan pertanyaan yang sama.

FARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang