Chapter 14

2.1K 390 19
                                    

Bersama Umi
----

Malam ini, setelah pemakaman almarhum om Radit, kami bersiap untuk melakukan tahlil bersama untuk mendoakan almarhum. Beberapa warga disekitar sini sudah berkumpul untuk berpartisipasi dalam mendoakan almarhum.

Umi, beliau datang bersama Fatimah sore tadi. Beliau merasa sangat sedih. Aku memberi Umi kamar tepat dikamar sebelah kamarku. Disebelah kamarku ada sebuah kamar kosong yang entah dari kapan.

Aku berjalan mondar-mandir, menelpon pria bernama Aufar berulang kali. Namun, tetap, hasilnya nihil. Layar ponselku hanya memberi tahu bahwa ponselnya tidak aktif.

"Da?" Aku mendongak mendengar namaku dipanggil. Itu Farez. "Ayo turun." Ajaknya membuatku tersenyum tipis. Aku bingung mengatakannya, namun, tidak mungkin acara tahlilan tanpa satu anggota keluarga dari orang yang meninggal.

"Lo masih nunggu Aufar?" Aku mengangguk menanggapi pertanyaan Farez. Setelah pemakaman tadi, sosok Aufar memang tidak kembali muncul di rumah. Sepertinya dia pergi bersama Nanda, namun, sampai sekarang belum juga terdengar kabar dia berada dimana.

"Kalo dia udah pergi sama Nanda, hape nya gak mungkin aktif, karna hapenya dipegang Nanda." Jelas Farez membuatku mengangguk. Aku sungguh tidak paham dengan gaya pacaran Aufar. Bukankah dia malah seperti dijadikan budak oleh Nanda?

"Nanda? Siapa itu?" Suara Umi dari belakang mengagetkanku. Aku tersenyum tipis. Aku memang tidak memberitahu perihal perilaku Aufar, apalagi tentang pacarnya.

"Itu tant-"

"Temen Maida, mi. Temen disini." Aku memotong kalimat Farez. Jika tidak, Umi pasti sudah menanyaiku macam-macam. Umi mengangguk lalu ber-"oh" ria.

"Loh, nak Aufar mana?" Umi bertanya lagi melihat aku hanya bersama Farez . "Lagi keluar sebentar, mungkin bentar lagi sampe rumah, mi." Jawabku sekenanya. Umi mengangguk lalu berjalan menuruni tangga untuk ikut bergabung dengan ibu-ibu kampung yang lain.

Meskipun Umi tidak mengenal mereka, namun Umi sangat mudah bergaul.

"Lo gak bilang ke Umi Lo kalo Aufar-"

"Enggak. Aku gak mau Umi kepikiran. Lagian, Umi taunya Aufar anak yang baik." Aku tertawa getir. Bagaimana dia bisa disebut anak yang baik jika disaat ayahnya meninggal saja dia tidak ikut mendoakan.

F

arez tersenyum tipis, "Lo kebawah aja. Biar gue yang nelpon Aufar." Setelah menimbang cukup banyak, akhirnya aku menuruni tangga. Aku tidak tahu bagaimana seorang Farez bisa menjadi teman seorang Aufar? Membayangkannya saja membuatku bergidik ngeri.

***
Tepat jam 9 malam, acara tahlil usai. Namun, pemilik rumah bernama Aufar itu tidak juga menampakkan batang hidungnya. "Umi, Umi istirahat aja sama Fatimah. Biar Maida sama temen-temen disini yang beres-beres."

Aku menatap Umi yang terlihat lelah. Umi pun mengangguk lalu berjalan menuju tangga. Kemana perginya Aufar? Apa dia lupa jalan pulang? Aku menghela nafas lalu melipat tikar.

"Makasih ya, rez Dan yang lain, Jazakumullah Khairan katsira." Aku menelungkup kan tangan didepan dada untuk menghormati para tamu yang tadi ikut membantu membereskan. Para tamu itu adalah teman Aufar.

"Iyaa mbak. Ngomong-ngomong artinya apa, ya?" Tanya seorang laki-laki berambut pirang yang langsung disenggol teman-teman disebelahnya. Aku tertawa kecil.

FARDonde viven las historias. Descúbrelo ahora