Chapter 39

1.6K 349 25
                                    

Tuntun gue.
---

Point Of View:

Aufar tergesa-gesa memakai kemejanya. Hari ini dia terlambat bangun karena semalaman mengejar target bacaan Al-Qur'an nya. Dulunya, jika dia terlambat bangun begini, itu karena dia terlalu larut meminum alkohol dan berada dibar. Namun, kini kehidupannya seperti menjadi kehidupan lain.

"Makan dulu, mas." Suara gadis itu membuat Aufar menoleh ketika sedang menuruni tangga. Zayna-nya sedang merapikan piring dimeja makan. Bi Suni yang sedang sibuk membersihkan taman membuat Zayna harus menggantikan pekerjaannya.

"Wah, aku suka nih kalau yang masak kamu." Celetuk Aufar segera menuruni tangga. Maida tersenyum. Lelaki itu lalu duduk di kursi yang sudah disiapkan.

"Alhamdulillah kalau mas suka." Meskipun pria itu terburu-buru, ia tetap menghargai wanitanya itu. Aufar segera mengambil nasi secukupnya lalu lauknya. Maida yang hanya duduk sambil melihatnya itu membuatnya menghentikan aksi mengunyahnya.

"Sebenernya, ada yang mau aku omongin." Kata Aufar masih dengan mulut penuh dengan makanannya.

"Kunyah dulu, terus ditelen. Baru ngomong. Lagian ini udah hampir jam 9, kamu gak keburu ke kantor?" Tanya Maida membuat Aufar melirik arlojinya.

"Astaghfirullah. Iya. Nanti deh ngomongnya, nanti malem, ya? Atau, nanti aku telepon. Nanti gak ada jadwal ngajar, kan? Atau—"

"Iya, mas. Gak usah panik gitu. Santai aja lagiii." Maida terkekeh membuat Aufar mencubit pelan pipi gadis itu. Gadis itu mendengus pelan.

Setelah menghabiskan makanannya, Aufar berdiri.

"Salim dulu, dong." Aufar menyodorkan tangannya membuat gadis itu tersenyum lalu mengambil tangannya. Suasana diantara mereka memang sudah tidak secanggung dahulu, namun, pasti rasa mengganjal masih ada di hati Maida.

"Aku pamit dulu ya. Assalamualaikum!" Pamit Aufar lalu melambaikan tangannya. Maida hanya mengangguk lalu menghela nafas pelan.

***

POV Maida :

Tok tok tok

Pintu terketuk. Aku yang sedang membaca buku di mushola itu langsung berdiri, mengambil satu kerudung selopku untuk kupakai. Jam menunjukkan pukul 11 siang, tidak mungkin jika Aufar sudah pulang.

Klek.

Mataku membulat sempurna ketika mendapati Nanda yang berdiri disana. Dia memakai rok panjang dan baju berlengan panjang. Tidak seperti biasanya. Rambutnya juga diikat rapi.

"Hai." Sapanya membuatku mengangguk ragu. Gadis itu tersenyum tipis, "Em, kalau mbak Nanda nyari mas Aufar, orangnya lagi gak dirumah. Dan mungkin, pulangnya juga masih lama." Jelasku sebelum dia mengutarakan maksudnya.

"Enggak-enggak. Gue mau ketemu Lo. Gue tau kalau Aufar jam segini kerja, makanya gue Dateng mau ketemu Lo." Aku mengerutkan kening mendengar jawabannya. Setelah menyuruhnya masuk, aku langsung menuju dapur untuk membuatkannya minuman.

Bi Suni sedang istirahat, tidak enak jika mengganggunya. "Diminum dulu, mbak." Kataku menyodorkan segelas teh hangat kepadanya. Dia mengangguk lalu menyeruput teh yang kubuat.

"Ada apa, ya, mbak?" Tanyaku sedikit ragu. Suasana saat itu sangat canggung, karena ini berbeda dari sebelum-sebelumnya ketika aku bertemu gadis itu.

"Em, gini. Sebelumnya, Lo jangan panggil gue mbak deh. Kayaknya kita gak beda jauh umurnya." Pinta Nanda, nada nya seperti memecah kecanggungan diantara kami. Aku mengangguk kecil.

"Itung-itung latihan kalau nanti gue beneran jadi istri keduanya Aufar." Aku memelototkan mata mendengar ungkapan Nanda. Gadis itu terbahak.

"Kenapa kaget?"

"Enggak." Jawabku singkat.

"Gue denger, Lo nyuruh Aufar nikahin gue kalau hasil Tes DNA nya cocok?" Aku mengangguk menjawab pertanyaan nya.

"Terus, Lo rela kalau gue jadi istri keduanya Aufar?"

"Sebenernya enggak." Jawabku singkat. Nanda berdecak lalu berdehem.

"Yes, I see. Gue tau Lo gak mungkin rela. Terus kenapa Lo nyuruh dia nikahin gue?" Aku tersenyum tipis sebelum akhirnya berani menatap bola mata gadis itu. Aku tau, banyak luka didalamnya yang ia sembunyikan.

"Aku perempuan, dan kamu perempuan. Aku gak mungkin ngebiarin perempuan yang udah disakitin sama suamiku menderita. Aku gak mau bahagia diatas penderitaan orang lain." Jelasku membuat Nanda terdiam.

"Apalagi liat kamu nangis kemarin, meskipun, mungkin kamu gak akan peduli kalau lihat aku nangis. Tapi, gak mungkin aku jadi kayak kamu. Meskipun akhirnya aku harus berbagi sesuatu yang paling aku cintai dibumi ini, aku ikhlas." Lanjutku lalu menghela nafas panjang.

"Ajarin gue. Ajarin gue biar gue bisa sesabar elo. Ajarin gue biar gue bisa seikhlas elo. Bahkan sampai sekarang, gue belum ikhlas bokap gue meninggal." Aku tersentak mendengarnya. Nanda yang seperti ini ternyata sudah kehilangan satu sayapnya sepertiku.

"Ilmu Sabar itu gak bisa dipelajari kayak ilmu matematika atau ilmu fisika. Sabar itu harus diterapkan, itu tergantung dirimu, mau atau tidak menerapkannya."

Hening.

Tatapan Nanda kosong kedepan.

"Semalem, gue Nemu salah satu ceramah seorang ustadz yang lewat di beranda YouTube gue. Gue ngerasa bener-bener ditegur dengan itu. Ustadz itu bilang, kalau sehelai rambut kita terlihat oleh yang bukan mahram...." Air matanya menetes, membuatku iba melihatnya.

Ia terisak sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya, "Sama amsaja kita mendorong bokap kita menuju neraka." Ia menangis. Sejadi-jadinya.

"Gue terlalu menutup diri soal agama. Tapi gak tau kenapa, ketika gue ngelihat Aufar berubah karna Lo, gue jadi mikir, apa kekentalan agama seseorang itu membuatnya menjadi manusia yang berakhlak baik?" Nanda terisak, wajahnya memerah.

"Akhlak seseorang itu tergantung pemilik ilmunya. Ada penghafal Al-Qur'an, namun, mereka masih melakukan maksiat. Itu artinya mereka tidak mengamalkan kandungan Al-Qur'an, bukan? Ada juga orang yang pinter banget baca kitab, tapi kalau ngomong, nyakitin hati orang." Aku menghela nafas.

"Semua itu tergantung. Ada juga yang cuma punya ilmu sedikit, tapi akhlaknya MasyaAllah banget. Dan Aufar adalah orang itu, dia mau belajar sekaligus menerapkannya." Lanjutku membuat Nanda mengangguk.

"Lo mau tuntun gue?" Aku tersentak mendengar pertanyaannya. Pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh Aufar, namun, kini, Nanda, seorang Nanda!

"A-aku?" Tanyaku terbata. Gadis dihadapanku itu mengangguk.

"Gue udah banyak dosa, Mai. Kalau besok gue mati—"

"Hush, gak boleh ngomong gitu. Yaudah, kita belajar sama-sama. Bismillah, ya." Aku memegang tangan dingin gadis itu. Kini aku sangat percaya, bahwa Allah maha membolak-balikkan hati manusia.

***

Alhamdulillah bisa up hari ini 😭

Semoga bermanfaat dan dapet feelnyaa! Aamiin !!

Semoga sukaa yaa!! Aamiin. Wkwkwk

Oiya, selamat tahun baru Hijriyah, semoga ditahun ini bisa menjadi lebih baik, aamiin...

Jangan lupa bersyukur hari ini ❤️

FARWhere stories live. Discover now