Chapter 26

2K 407 40
                                    

Lo, jangan sakit!
---

Ponselku berdering. Aufar segera mengambilnya, badanku masih lemas dan masih demam. "Umi?" Katanya memberi tah bahwa telepon itu dari Umi. Aku memang memberi tahu Umi bahwa aku pusing sejak kemarin.

"Assalamualaikum, Umi." Sapanya ditelepon. Dia seperti benar-benar menjadi suamiku. Dia menjauh dariku lalu keluar kamar. Entah apa yang dibicarakan dengannya dan Umi. Beberapa saat setelah menelpon, dia kembali memasuki kamar.

"Iya, mi. Oke siap. Waalaikumussalam." Katanya lalu mematikan teleponnya. Dia memegang jidatku lagi.

"Ke dokter, yuk?" Tawarnya. Hari memang sudah hampir berganti malam, dan demamku belum juga sembuh. Aku menggeleng, jika kerumah sakit lalu dirawat, biayanya pasti tidak sedikit.

"Udah sore, Lo belum juga sembuh. Pokoknya!" Paksanya lalu mengambilkan jaketku serta pakaian-pakaian yang harus kupakai. Dia segera menghubungi seseorang.

"Sepuluh menit lagi berangkat." Katanya setelah berbincang dengan seseorang disana. Aku mengangguk. Dia membantuku memakai jaket.

"Gila Lo. Panas banget!" Pekiknya setelah memegang lenganku yang sedari tadi tertutup selimut. Aku meringis kecil. Dia memakaikan kupluk jaket itu dikepalaku.

Dia masih duduk di kursi itu. Menatapku dengan wajah belas kasihan. Wajah itu belum pernah kutemukan sebelumnya. Dia memegang tanganku erat. Tubuhku sangat lemas, bahkan aku seperti akan mati.

Aku terus beristighfar.

Setelah kurang lebih tujuh menit, telepon Aufar berdering. Aufar segera mengangkatnya, "Oke oke. Gue kebawah." Katanya lalu mematikan teleponnya, setelah itu memasukkan ponselnya kekantung celananya.

"Lo kuat jalan?" Aku menggeleng lemah. Tubuhku benar-benar lemah. Dia mengangguk kecil lalu berbalik dan berjongkok. "Gue gendong dibelakang." Katanya lalu menarik kedua tanganku.

Pria itu berusaha keras merawatku. Dia menggendong badanku yang lumayan berat ini menuju lantai bawah.

"Rez. Buka pintunya!" Perintahnya melihat Farez yang hanya berdiri didepan pintu mobil. Pria bernama Farez itu langsung membukakan pintu itu cepat. Aufar langsung memasukkan ku kedalam mobil.

"Lo depan sendirian, gak papa?" Farez mengangguk mendengar pertanyaan Aufar. Aufar segera berlari mengitari mobil dan duduk disampingku. Perutku sangat mual, rasanya ingin memuntahkan sesuatu, namun, didalam perutku ini sudah tidak ada isinya karena aku tidak mau makan.

"Sejak kapan sakitnya?" Tanya pria yang sekarang menjadi supir itu. Aufar menggeleng, "Gue baru tau tadi pagi." Aku yang memejamkan mata itu masih bisa mendengar obrolan mereka.

Tangan Aufar menggenggam tanganku. Mataku terbuka kecil, melihat ke kaca depan mobil. Mata Farez sedari tadi mengawasi kami berdua. Entah apa yang sedang ia perhatikan.

"Masih pusing?" Tanya Aufar membuatku mengangguk lemah. Tangannya menggeser kepalaku untuk bersandar di bahunya. Aku hanya menurut. Namun, posisi miring justru membuatku semakin pusing.

Aku mengangkat kepalaku lagi, bersandar di jok mobil. Pria itu menoleh lalu menatapku, mengerutkan kening.

"Kenapa?"

"Gak nyaman aja—" Pria itu tertawa kecil.

"Itu karena Lo cuma menyandarkan kepala Lo. Seharusnya Lo juga menyandarkan hati Lo." Ucapnya masih menggenggam tanganku.

"Ekhem! Woi gak usah pada uwu Napa. Gue udah jadi supir, jadi nyamuk pula!" Aufar terkekeh kecil. Rumah sakit itu lumayan jauh dari rumah. Rumah sakit tempat om Radit dirawat.

FARTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon