Chapter 22

2.1K 391 17
                                    

Anak-anak panti
---

"Alhamdulillah, akhirnya sampai rumah!" Aku mengangkat plastik berisi cat itu membawanya kedalam. Plastik itu tidak terlalu berat, mungkin karena dulu, aku sering membawa satu karung jajanan untuk diisi diwarung.

"Sini gue aja!" Tawar pria itu sambil membawa tas kresek yang berisi bukunya. Aku menyerahkan kresek berisi 2 cat itu kepadanya. Sedangkan aku hanya membawa satu.

Rumah besar ini benar-benar terasa sepi bagai tak berpenghuni. Sejujurnya, lebih baik memiliki rumah sederhana namun ramai, daripada besar dan sepi. Aufar menaruh cat itu didepan kamar dekat pintu.

"Taruh sini dulu." Perintahnya, aku mengikutinya, lalu meletakkan cat yang kubawa di dekat cat yang Aufar letakkan.

"Capek banget!" Lirihku sambil meregangkan badanku. Pria itu hanya menoleh sebentar kearahku, lalu menuju sofa. Dia membuka buku yang baru dibelinya dengan semangat.

Aku merebahkan badanku dikasur berseprei putih itu.

"Mau tidur tapi udah sore, udah mau Maghrib." Keluhku lalu mengambil ponsel dari saku gamisku. "Emang kenapa kalau tidur sore?" Tanya Aufar yang masih sibuk membuka bukunya.

"Yaa gak baik. Itu termasuk tidur yang dilarang dalam Islam!" Jawabku. Dia berhenti membuka buku itu lalu beralih menatapku.

"Emang tidur yang dilarang tu kapan aja??" Tanyanya penasaran. Aku mengingat-ingat perkataan Umi saat melarang ku tidur selepas ashar dulu.

"Ada 5 sih. Tidur setelah shubuh, tidur habis ashar atau menjelang Maghrib, terus tidur sebelum isya atau tidurnya pas belum sholat Isya', terus... Tidur setelah makan, sama tidur seharian penuh." Jawabku, pria itu mengangguk-angguk.

"Tapi, kalau tidur seharian penuh, kan bisa mengurangi maksiat? Nah mengurangi maksiat sama aja mengurangi dosa." Dia terkekeh mengutarakan pendapatnya.

"Terus kamu gak mau cari pahala?"

"Loh katanya tidur itu ibadah, kok. Berarti berpahala." Jawabnya mengeles.

"Iyaa, tidur dinilai ibadah kalau kamu tidurnya diwaktu yang tepat. Kalau kamu tidur seharian, meninggalkan kewajiban untuk sholat, ya sama aja Bambang!"

"Gue bukan Bambang!" Protesnya membuatku terkekeh.

"Kecuali kalau sakit. Itu beda lagi." Lanjutku lalu bangkit dari kasur. Pria itu mengangguk-angguk lucu.

Tringggg

Ponselku berdering, ada satu panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Aku segera menggeser panel hijau siapa tau panggilan itu penting.

"Assalamualaikum?" Sapaku setelah telepon tersambung.

"Waalaikumussalam, ah, non. Akhirnya saya bisa menghubungi non." Suara bi Suni terdengar.

"Oh ini bi Suni?! Waah, apa kabar, bi? Sehat??" Tanyaku menyambutnya ramah. Sebelum pulang, memang bi Suni sempat meminta nomor ponselku. Mungkin baru ini kesempatannya untuk menelponku.

"Alhamdulillah, baik. Non gimana?"

"Saya juga baik, bi." Setelah mengobrol panjang lebar, lalu bi Suni mematikan teleponnya karena harus mengantarkan anaknya berjalan-jalan. Aku tersenyum beberapa saat kemudian Adzan Maghrib berkumandang.

FARWhere stories live. Discover now