Chapter 41

1.7K 296 7
                                    

Aku percaya
.
.
.
🍁🍁🍁

Point Of View :

Brakkkk!

Mobil hitam itu menyerempet truk yang berada di hadapannya. "Astaghfirullah! Rez!" Pekik Aufar, mobilnya terguling-guling memasuki jurang. Orang yang berada didalamnya itu adalah Aufar dan Farez.

Brakk!!

Mobil itu berhenti terguling ketika menabrak batu besar yang berada ditengah jurang. Aufar memekik. Kakinya terjepit diantara jok-jok mobil. Sedangkan Farez terdiam, matanya sudah terpejam, sepertinya dia menahan kesakitannya.

"Rez, mata Lo!" Aufar melihat mata Farez yang sudah terpejam itu mengeluarkan darah. Melihat hal seperti itu dihadapan mata bukanlah hal yang indah. Farez merintih.

"Sakit banget, far." Rintih Farez, matanya tetap terpejam. Matanya terkena serpihan-serpihan kaca yang membuatnya tidak bisa membukanya. Aufar menatap pria itu iba. Namun, dirinya juga tidak bisa menolongnya. Kakinya terjebak dan itu sungguh menyakitkan.

"Tolong!" Teriak Aufar, orang-orang yang tadi menyaksikan kecelakaan itu sudah berkerumunan diatas, namun, belum satupun berani turun untuk menyelamatkan dua orang yang berada didalam mobil itu.

Beberapa saat setelahnya, suara sirine ambulance itu berbunyi. Membuat Aufar yang sedari tadi berteriak itu berhenti. Ia ingin menangis, tapi sekarang bukan saatnya. Kakinya yang masih terjepit itu sudah serasa mati rasa. Goresan luka-luka di tangannya pun juga sudah tidak ada rasanya.

Beberapa petugas ambulance itu datang dengan hati-hati. Membopong tubuh Farez yang sedari tadi sudah pingsan. Sepertinya, dia tidak kuat karena serpihan-serpihan kaca itu masuk pada matanya. Aufar yang masih setengah sadar itu akhirnya di angkat oleh beberapa petugas.

Kakinya sungguh benar-benar mati rasa. Darah mengalir deras setelah kaki itu berhasil di lepaskan dari jepitan jok mobil itu. Entah apa yang mengenai kakinya hingga membuat luka disana.

Mereka dimasukkan kedalam 2 ambulance yang berbeda. Aufar masih dalam keadaan setengah sadar, sebelum akhirnya matanya tertutup rapat dan kesadarannya hilang.

Dibawah alam sadarnya, dia melihat sosok Zayna dibalut gaun putihnya. Samar-samar wanita itu menggandengnya, mengajaknya berlarian kearah danau indah yang berada disana. Wajah wanita itu bersinar dalam pandangan pria itu.

Mereka duduk dipinggir danau. Kakinya dicelupkan ke air danau yang begitu jernih itu. Namun, pria itu malah menangis setelah mereka sama-sama menatap pohon diujung danau itu. Tangan Maida terulur, mengelus punggung pria itu.

"Gak papa, mas. Kamu sudah melakukan yang terbaik." Kata Maida lalu Aufar memeluknya erat. Menangis sekuat-kuatnya dipundak wanita itu.

"Apa kita bisa menikmati buah di pohon itu bersama saat mereka matang?" Tanya Aufar setelah tangisnya sedikit mereda. Maida mengangguk cepat. "Kita pasti bisa, sebentar lagi, buah itu matang, dan kita akan memetiknya."

Aufar menghela nafas, bahkan dalam alam bawah sadarnya, ia tidak bisa meyakinkan dirinya bahwa ia bisa membahagiakan Maida. "Aku yang tidak yakin." Katanya pelan.

Maida hanya menjawab perkataannya itu dengan senyuman. Senyuman lebar hingga sinar terang datang menutup wajahnya. Membuat semuanya menjadi gelap.

Pria itu berteriak meminta tolong, namun, suaranya tidak bisa ia dengar sendiri. Ia merasa berteriak, namun dia juga tidak melihat apapun disana.

"Ya Allah, apa ini hukuman dari-Mu?"

"Tapi, bukankah engkau maha baik?"

🍁🍁🍁

POV Maida :

Sudah satu jam lamanya ponselnya tidak bisa dihubungi. Dia kemana, sih? Meeting kenapa lama sekali. Nanda yang sedari tadi duduk diruang tamu menemaniku itu mulai bosan.

"Duduk kali, mai. Gue juga coba hubungin Farez gak diangkat." Katanya sambil menyeruput lemon nya. Entah, perasaanku saja yang sensitif, atau memang ada kejadian buruk disana.

"Santai aja. Farez jago nyetir kok."

"Kenapa tiba-tiba ngomongin setir, sih?" Tanyaku sensitif. Aku tidak ingin berfikiran buruk tentang apa yang terjadi disana. Tapi tidak biasanya Aufar slow respon seperti ini, apalagi kepadaku.

"Ya, gue— ya entahlah. Sorry kalau salah ngomong." Ucap Nanda terkekeh pelan. Aku berjalan duduk disamping Nanda, namun, hatiku sungguh tidak tenang. Pikiranku seperti memberontak.

DRRRTTDRTTT

Ponsel ku berdering membuatku langsung mengangkatnya. Panggilan itu dari Aufar. Aku menghela nafas.

"Aufar!" Kataku girang lalu menggeser panel hijau. "Assalamualaikum, mas. Kamu kemana aja, sih? Gak mau tau hasilnya? Alhamdulillah, mas. Aku seneng banget. Maaf ya, udah su'uzon—"

"Assalamualaikum," aku terkejut ketika mendapati suara perempuan yang berada disana. "M-mas?" Kupastikan lagi jika aku salah dengar. Nanda yang sedang menatapku itu mengerutkan kening.

"Kami dari pihak rumah sakit Hidayatullah Yogyakarta ingin mengabarkan, bahwa pemilik ponsel ini mengalami kecelakaan. Sekarang korban berada di rumah sakit Hidayatullah. Kami yakin bahwa anda adalah pihak keluarga korban, jadi mohon kesediaannya untuk cepat datang ke rumah sakit kami." Aku menahan nafas mendengarnya.

"Ke-ke-kecelakaan?"

"Iya."

"Ke-ke-kecelakaan?" Aku mengulangi pertanyaan yang sama. Jantungku seperti berhenti berdetak. Pikiranku kalang kabut. Pihak rumah sakit itu menjawab dengan jawaban yang sama. Nanda menatapku dengan tatapan tajam. Beberapa saat kemudian dia merebut ponselku.

"Woi, jangan main-main Lo ya. Far, gue tau Lo prank, kan? Lo kan sering nge prank."

"Maaf, mbak, kami dari pihak rumah sakit tidak tahu menahu. Kami hanya ingin memberikan kabar kepada—"

Klek.

Telepon dimatikan sepihak oleh Nanda. Ia mengacak rambutnya, "Drama apalagi sih, tu anak." Ocehnya namun sesaat kemudian ia menangis. Aku tidak bisa menangis karena terlalu terkejut dengan situasi ini.

"Bi Suni... Bi.." dengan tergopoh-gopoh wanita paruh baya itu datang.

"Kita ke jogja sekarang. Siap-siap ya, bi!" Perintahku, mataku mulai memanas, kakiku melemah, lunglai untuk berdiri.

"Jogja?"

"Aufar kecelakaan. Kita harus segera kesana." Ekspresi bi Suni sama seperti ekspresi Nanda pertama kali. Terkejut pasti. Aku segera berlari menuju kamar, mengambil tas ransel lalu memasukkan baju seadanya untuk dibawa kesana.

"Gue ikut gak?" Tanya Nanda ketika aku dan bi Suni sudah bersiap untuk berangkat. "Terserah." Jawabku seadanya. Aku sungguh tidak bisa menangkap situasi ini.

Ya Allah, Aku tidak ingin kehilangan pria yang aku sayangi, lagi.

Nanda mengangguk, "Kalian duluan aja. Besok gue nyusul. Jangan lupa kabarin ya." Kata Nanda, setelah itu aku dan bi Suni segera berjalan keluar rumah. Memesan taksi secepat mungkin.

"Bi, bisa pake aplikasi pesan pesawat langsung, gak?" Bi Suni menggeleng.

"Waduh saya gak bisa, non." Aku menghela nafas, berharap tiket pesawat hari ini menuju Jogja tidak kosong dan bisa mengambil yang paling cepat.

🍁🍁🍁

FARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang