Chapter 4

2.3K 392 6
                                    

Rumah Aufar
.
.
.
🍁🍁🍁

Aku melipat sajadahku, baru saja melakukan shalat isya. Kamar ini 5 kali lebih luas daripada kamarku, namun, entah mengapa aku tidak merasa nyaman berada disini, apalagi sendirian. Kumasukkan sajadah itu ke lemari yang sudah disediakan khusus untukku.

Pranggg..

Aku mendengar gelas pecah, namun suaranya seperti gelas yang sengaja di pecahkan. Aku membuka sedikit pintu kamar untuk memastikan tidak ada pencuri yang masuk.

"Kamu itu udah punya istri! Hargain istri kamu!" Samar-samar aku mendengar suara om Radit sedang membentak seseorang.

"Istri palsu?!" Tanya orang itu, sepertinya suara Aufar. Suaranya meninggi, aku jadi mengingat saat ia membentak ku sore tadi. Aku menghela nafas. Tidak baik sebenarnya mendengar percakapan orang seperti ini.

"Jaga bicara kamu Aufar!" Lagi-lagi gelas itu dipecahkan. Apakah semua orang kaya selalu membuang-buang gelas kaca hanya karena amarah?

"Om sendiri kan yang nyuruh gue nikahin perempuan itu!" perkataan Aufar membuatku mengurungkan niat untuk menutup pintu. Om? Dia memanggil om? Bukankah om Radit adalah ayahnya?

Aku tahu, lelaki seperti Aufar sudah pasti menikahi ku bukan atas dasar cinta. Dan hatiku tidak perlu sakit atas itu. Toh, aku juga tidak mencintainya.

Hening. Tidak ada suara dari Aufar ataupun om Radit lagi. Aku segera menutup pintu dan berpura-pura membaca buku ketika mendengar suara langkah kaki seseorang menuju kamarku. Dia pasti Aufar.

Klek.

Aku melirik ke arahnya. Dia tampak frustasi, rambut acak-acakan, pakaian tidak rapi, dan—Astaghfirullah, tangannya bersimbah darah. Aku yakin itu sebab pecahan gelas kaca yang tadi dilempar.

"Far?" Aku memanggilnya pelan, takut-takut dia tiba-tiba memarahiku lagi. Dia menoleh lalu melepas dasinya.

"Hem?"
"Tangan kamu?" Aku menunjuk ke tangan kirinya yang masih mengeluarkan darah. Apa dia tidak merasa kesakitan?
"Kenapa?"
"kamu ini manusia, bukan malaikat. Gak usah sok kuat," Kataku lalu mendekat ke arah Aufar berdiri. Aku yakin, dia sebenarnya menahan perih.

"Sini diobatin dulu,"  kataku lalu meraih lengan Aufar. Kenapa aku jadi perhatian gini?
"Gak usah sok perhatian!" dia melepaskan lengannya dari tanganku. Aku menghela nafas lalu tetap memaksanya untuk mengobati lukanya. Ku ambil perban, Revanol, dan Betadine.

"Gue bisa sendiri," katanya mengambil Revanol dari tanganku. Aku menyerahkannya. Biar saja dia melakukannya sendiri, dasar kepala batu!

"Aduh," aku mencibir melihatnya kesakitan.
"Makanya gak usah sok kuat,"
"Berisik," aku mendengus mendengar jawabannya lalu duduk di sebelah Aufar, membiarkannya mengobati lukanya sendiri.
Suasana hening. Aku tak berniat berbicara, dia pun tidak akan berbicara jika tak kuajak bicara. Aku kembali membaca buku yang tadi pura-pura kubaca.

"Balikin," perintahnya membuatku menoleh ke arahnya. Dia sudah selesai memperban lukanya. Aku bersungut. Bukannya berterimakasih, dia malah seenak jidat menyuruhku mengembalikan obat-obatan.

"Tren jaman sekarang emang gitu ya kalau salting?" aku mengerutkan kening mendengar kalimatnya. Dia berdiri di depanku.

"Sok baca buku, padahal kebalik," lanjutnya membuatku tertawa. Tingkat percaya diri nya ternyata tinggi juga. Aku membalik buku yang ku baca.

"Sampul nya emang kebalik, salah cetak, katanya," aku tertawa melihat wajah Aufar yang menahan malu.

Lagian siapa juga yang salting dengan orang kepala batu seperti dia. Wajahnya tiba-tiba mendekat ke wajahku membuatku berhenti tertawa.

Wajahnya semakin Mendekat membuatku memundurkan wajahku. Dia sedang apa sih?

"Mau ambil bantal," katanya lalu mengambil bantal yang berada di belakangku. Ingin kutampar saja wajahnya sekeras mungkin agar bentuk tanganku berbekas disana. Dia kembali berdiri menjauhkan wajahnya dari wajahku.

"Kenapa?" Aku menggeleng cepat lalu membaca buku ku lagi. Lebih tepatnya berpura-pura membaca. Baru pertama kali aku melihat wajah pria sedekat itu.

Dia berjalan menuju ujung kamar, lalu sepersekian detik kemudian dia membuka sebuah pintu. Namun, pintu itu sangat tidak terlihat seperti pintu, orang yang melihatnya pasti mengira itu hanya dinding biasa yang tidak bisa di buka. Bahkan, aku saja tidak menyadarinya.

"Ruang rahasia gue, lu boleh kuasain kamar ini, asal jangan pernah masuk kesini. Dan jangan pernah bilang ke papa kalo gue punya kamar didalam kamar ini!" kata nya lalu menutup pintu itu. Aku menghela nafas lega. Kupikir dia akan tidur di sampingku malam ini.

Didepanku, dia bilang papa, namun mengapa sikapnya ke om Radit seperti itu??

Aku menelisik kamar nya. Seram juga jika tidur sendirian dikamar ini. Cat tembok nya berwarna coklat membuat suasananya menjadi sedikit menyeramkan.

Kuambil ponselku lalu membuka WhatsApp. Mas Azam belum juga menghubungiku sejak lamaran itu, bahkan, pesanku belum juga dibacanya. Atau dia tidak tau bahwa aku sudah menikah? Astaghfirullahaladzim, Ida! Kenapa aku masih memikirkan mas Azam.

Ceklek.

Baru beberapa menit Aufar masuk ke kamar itu,  sekarang dia malah keluar dari kamar rahasia nya itu. Aku langsung berpura-pura memejamkan mata. Bodoh! Padahal ponsel masih berada di tanganku.

Aku mengintip ke arah Aufar. Dia berjalan ke arahku. Kulirik ponsel yang berada di tanganku. Mengapa masih menyala?! Dan parahnya, layarnya menunjukkan pesan chatku dengan mas Azam.

"Lo gak beneran tidur, kan?" Langkah Aufar semakin mendekat.

"Hape Lo ada yang telepon, tuh." Aku langsung membuka mata. Melihat Aufar yang sedang menuangkan air mineral ke gelasnya. Aku yakin di kamar rahasianya tidak ada dispenser, makanya dia keluar untuk mengambil air.

Aku mengecek ponsel.

"MAS AZAM?!" Pekikku setelah melihat siapa yang menelpon.

🍁🍁🍁

Alhamdulillah, bisa up hari ini.

Semoga sukaaa! Aamiin, aamiin, aamiin..

Sehat-sehat buat kalian..
Semoga diberi umur panjang dan bisa ketemu di ramadhan tahun depan. Aamiin..

Jangan lupa bersyukur hari ini ❤️

FARWhere stories live. Discover now