Chapter 42

1.9K 361 120
                                    

Bagian menyedihkan
.
.
.
🍁🍁🍁


"Maaf, mbak, untuk tiket pesawat hari ini semua ditunda karena keadaan cuaca. Mungkin besok pagi ketika cuaca sudah bagus." Ucap penjaga bandara itu membuatku menghela nafas. Menatap bi Suni sepersekian detik.

"Naik kereta aja, bi." Ucapku. Kereta tidak mungkin ditunda karena keadaan cuaca. Bi Suni mengangguk, "Tapi, perkiraan lama kereta dari Jakarta ke Jogja itu 8 jam." Kata bi Suni mengingat-ingat. Aku mengangguk.

"Gak papa, bi. Dari pada kita disini gak ngelakuin apa-apa." Beginilah aku jika sudah panik. Bi Suni mengangguk lalu kemudian memesan taksi untuk menuju stasiun kereta api. Langit hari itu memang sangat mendung. Suasana tepat sekali untuk bersedih.

Aku menggerakkan tasbihku, terus membaca lafal, "La Haula wa laa quwwata Illa Billah" untuk menenangkan hatiku. Kalimat itu menunjukkan kepasrahan diri seorang hamba terhadap pencipta-Nya.

"Gak boleh negatif thinking, ya, non. Saya yakin, bos Aufar itu orang yang kuat." Perkataan bi Suni bukannya membuatku menjadi kuat, namun, malah membuat air mataku yang sedari tadi kubendung pecah.

"Enggak, bi. Dia bukan orang yang sekuat apa yang bi Suni lihat." Aku mengusap air mataku yang membuat mataku menjadi buram. Bi Suni menghela nafas. Bagaimana aku bisa tenang, sedangkan kini, aku tidak tahu bagaimana keadaan pria itu.

🍁🍁🍁

Setelah kurang lebih 8 jam berada di kereta, akhirnya sampai juga di kota yang dikenal sebagai kota pendidikan itu. Aku dan bi Suni segera menuruni kereta dan segera memesan taksi menuju rumah sakit Hidayatullah. Tak lama kemudian, taksi itu datang.

"Bi, aku takut." Kataku setelah taksi sudah berjalan menuju rumah sakit itu. Bi Suni mengelus tanganku. Tanganku sudah gemetar menggenggam tasbih itu. Keringat dingin mulai mengucur dari dahiku. 

"Apa yang ditakutkan kalau ada Allah, non." Hatiku mencelos. Kalimat bi Suni membuatku merasa ditampar berkali-kali. Iya, aku harus percaya bahwa Allah itu maha baik. Taksi itu berhenti tepat didepan rumah sakit itu. Jam menunjukkan hampir pukul 2 pagi.

"Makasih, ya, pak." Aku segera turun tergopoh-gopoh dari taksi itu menuju pintu rumah sakit itu. Bi Suni yang membawakan barang-barang ku tertinggal dibelakang. Aku setengah berlari menuju resepsionis yang berada tepat didepan pintu.

"Assalamualaikum, mbak. Saya mau bertanya, pasien bernama Aufar Farobi Abdullah sekarang berada diruangan mana, ya?" Tanyaku membuat mbak yang aku tanyai itu segera menatap komputer dihadapannya, mencari-cari nama yang tadi aku sebut.

"Tidak ada pasien bernama yang anda sebutkan barusan." Ujar mbak itu membuatku mengerutkan kening. Bi Suni yang baru sampai tepat disebelahku ikut mengerutkan kening.

"Coba tolong chek lagi, Aufar Farobi Abdullah. Korban kecelakaan tadi. Saya ditelepon sama rumah sakit—"

"Tidak ada mbak." Aku mengerutkan kening. Mengelus dada berkali-kali.

"Kalau, Muhammad Alfarez Kavindra?" Tanyaku mencoba mengingat-ingat nama lengkap Farez. Bi Suni mengelus punggungku mencoba menenangkan ku.

"Pasien bernama Muhammad Alfarez sedang mendapat penanganan khusus di ruang ICU." Hatiku mencelos. Kenapa nama Aufar tidak ada di daftar pasien?

"Ruangannya ka-kalau boleh tau, dimana, ya, mbak?" Mbak itu segera menjelaskan dimana letak ruangan Farez. Mungkin saja, mereka dibawa kerumah sakit yang berbeda, lalu ponsel Aufar terbawa dirumah sakit yang membawa Farez.

FARWhere stories live. Discover now