Chapter 28

2.2K 401 38
                                    

Apaan, sih?
---

"Nanti habis shubuh ajarin gue ngaji lagi, ya?" Pinta Aufar saat aku akan berjalan keluar kamar untuk melaksanakan sholat shubuh. Aku menoleh kepada pria itu yang masih duduk di sofa dan fokus ke Al-Qur'an nya.

Sejak semalam, dia terus membacanya walaupun masih terbata-bata. Entah dia sudah membaca sampai mana.

"Gak sekalian sholat shubuh bareng?" Tanyaku membuatnya menoleh. Dia selalu bilang sholat sendiri-sendiri saja. Dia tersenyum tipis.

"Jadi imam itu banyak syaratnya ternyata. Salah satunya harus berilmu. Ilmu gue masih setinggi mata kaki." Aku tertawa mendengarnya.

"Gak juga kok. Yang lebih tua juga bisa jadi imam." Elakku membuatnya mengangguk.

"Nah, gue juga gak tua-tua amat. Jadi gak dulu deh. Sholat sendiri-sendiri dulu aja." Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala.

"Padahal, sholat berjamaah itu pahalanya berlipat, bahkan sampai 27 derajat." Terangku. Aufar hanya mengangguk-angguk.

"Iya, gue tau, kok. Tapi percuma jama'ah kalau imamnya aja gak tau ilmunya. Bisa-bisa dosanya malah dibebankan ke imamnya. Dosa gue udah banyak, zay." Dia menggeleng-gelengkan kepala.

"Yaudah, aku sholat dulu. Dasar kepala batu." Ejekku. Dia memang terlelu keukeuh dengan segala keputusannya, bahkan sejak mengajakku menikah dengannya.

"Ye, Kepala gue punya isi. Batu kaga!" Teriaknya yang masih kudengar samar-samar. Aku tertawa kecil. Segera berjalan kearah mushola. Sudah ada bi Suni yang sedang duduk disana.

Aku dan bi Suni pun melaksanakan sholat berjamaah. Hanya bi Suni satu-satunya teman sholat dirumah ini karena Aufar tidak mau diajak sholat berjamaah.

"Bos Aufar gak diajak?" Tanya bi Suni sambil melipat mukenanya. Aku tersenyum.

"Namanya juga hidayah, bi. Dateng, ya perlahan, enggak langsung buk Dateng semua." Timpalku terkekeh. Bi Suni tersenyum.

"Eh, iya non. Nanti mau temenin saya belanja?"

"Mau, bi. Kangen banget belanja bareng bi Suni. Nanti jam 9 an ya?" Tawarku membuat Bi Suni mengangguk. Setelah itu bi Suni berjalan menuju dapur, mengerjakan tugasnya.

Sedangkan aku langsung menuju kamar untuk melanjutkan mengajar Aufar mengaji.

"Lama amat." Omel pria itu ketika aku baru  memasuki kamar bercat putih itu. Aku berdehem lalu mendekat kearahnya, duduk dihadapannya yang sedang memegang Al-Qur'an.

"Nih ya, aku kasih tau. Al-Qur'an itu Wahyu dari Allah yang dikirim oleh Allah melalui Rasulullah. Jadi Al-Qur'an itu mulia." Aufar mengerutkan kening.

"Kamu megangnya gak boleh kayak gini. Kalau kamu megang kayak gini, terus bedanya Al-Qur'an sama buku-buku biasa apa?" Aku membenarkan tangannya yang menggenggam Al-Qur'an itu layaknya buku biasa.

"Pake dua tangan, atau di taruh dimeja yang kalau bisa lebih tinggi dari kaki kita." Aufar seperti anak umur 5 tahun yang menuruti perintah ibunya.

"Walaupun ada artinya?"

"Iya. Walaupun ada artinya."

"Kalo gue baca artinya doang juga harus kayak gini pegangnya? Kan pake bahasa Indonesia." Aku tertawa.

"Mau kamu baca artinya pake bahasa Inggris, bahasa Korea, bahasa Jepang, atau bahasa Mandarin, itu tetep Al-Qur'an kan? Tetep firman Allah." Jawabku membuatnya mengangguk.

"Baik, cikgu. Sekarang kita mulai." Aku menghela nafas. Sebenarnya, siapa disini yang jadi cikgu. Kenapa dia malah yang memerintah.

FARWhere stories live. Discover now