Chapter 43

2K 368 74
                                    

Alfarez dan korneanya
.
.
.
🍁🍁🍁

Point Of View:

"Dok, bagaimana keadaan teman saya? Baik-baik saja, kan?" Pria yang baru sadar dari mimpinya itu langsung mencengkram tangan dokter yang berada disampingnya. Dokter itu menghela nafas.

"Kondisi anda lebih kritis daripada teman anda. Teman anda mengalami luka dibagian korneanya. 98% kemungkinan dia mengalami kebutaan setelah pulih." Aufar menghembuskan nafas pelan. Ia mengingat mata Farez tadi mengeluarkan banyak darah, mengerikan sekali. Melihatnya saja sudah bisa merasakan bagaimana sakitnya.

"Dok, hape saya mana?" Tanya pria itu ketika mencari ponselnya disaku tidak ada. Sekujur tubuhnya sudah serasa mati rasa. Dia hanya menggerakkan tangan dan organ wajahnya saja.

"Ini, saya dapet dari Perawat diluar. Keluarga anda juga sudah dikabari." Jelas dokter itu membuat Aufar berdecak. Pria itu hanya ingin menangis sekarang, merasa tidak berguna. Ia sudah berjanji dengan jari kelingking bahwa ia akan kembali.

"Kaki anda mengalami cedera parah. Dan itu membuat kaki anda harus diamputasi. Pendarahan pada kaki anda—"

"Dok, apa ada kerusakan lain selain kaki saya?" Aufar memotong pembicaraan dokter itu. Dokter itu menatap mata Aufar lekat.

"Karena mungkin penyelamatan agak terlambat, anda juga mengalami Trauma tumpul di dada. Trauma tumpul di dada dapat membuat penumpukan udara di paru dan ini merusak paru dan jantung," Aufar menghela nafas.

"Saya paham tentang penyakit itu. Dok, boleh minta tolong?" Tanya Aufar membuat dokter itu kembali menatap pasiennya. Bagi seorang dokter, berusaha yang terbaik adalah kesehariannya.

"Pindahkan kornea mata saya kepada teman saya, Alfarez." Aufar memegang tangan dokter itu ketika dokter itu menggeleng.

"Anda bisa sembuh jika tuhan berkehendak. Lagipula, operasi pemindahan mata hanya bisa dilakukan ketika orang tersebut sudah meninggal." Jelas dokter itu.

"Trauma tumpul di dada? Dokter yakin? Traumatis ini sudah membuat 99% orang meninggal. Dan saya sudah merasa tercekik sekarang." Jelas Aufar membuat dokter itu meneteskan sedikit air matanya. Ternyata pasiennya sungguh pandai.

"Tapi kami akan berusaha semaksimal mungkin." Dokter itu meyakinkan pasiennya. Aufar menggeleng.

"Saya ingin mendonorkan mata saya kepada Alfarez, dok."

"Donor mata itu perlu persetujuan keluarga, tidak sembarangan." Sangkal dokter itu masih tidak menerima keputusan dari pasiennya yang keras kepala.

"Saya hanya memiliki istri. Dan satu-satunya keluarga saya yang sudah menemani saya dari dulu sampai sekarang hanya Alfarez. Dok, izinkan saya membalas Budi." Pinta Aufar. Pria itu berkaca-kaca. Dadanya bergejolak.

Paru-parunya sesak, ia mulai kesulitan bernafas. Dokter itu mengangguk. Beberapa saat kemudian, dokter itu keluar dari ruangan Aufar, meninggalkannya sendirian dengan alat bantu yang sudah dipasang di tubuh pasiennya.

Aufar mengambil ponselnya untuk merekam sesuatu. Ia ingin meninggalkan beberapa pesan penting.

Ia menghela nafas, mengingat kisah Rasulullah yang terakhir ia baca. Ia membaca kisah kekasih Allah itu tentang Amul Huzni, yakni tahun kesedihan yang terjadi pada tahun ke 10 masa kenabian. Dimana beliau harus kehilangan Abu Thalib sebagai pamannya, dan Sayyidatina Khadijah sebagai istrinya.

FARWhere stories live. Discover now