Chapter 15

2.4K 391 13
                                    

Sebuah wasiat
----

Terkadang, menangis adalah cara untuk menjadi lebih bahagia. Malam itu, aku tidur bersama Umi dan Fatimah. Meskipun aku tahu bahwa Umi sudah mengetahui sesuatu tentang Aufar, namun aku tetap tidak ingin menceritakan apa yang aku rasakan selama ini.

Tepat pukul 3 pagi aku menyelesaikan percakapanku dengan Allah. Hanya saat itu, saat-saat aku mendapat kesempatan untuk mencurahkan segala isi hatiku kepada sang maha pemilik hati.

Aku berniat untuk mengambil minum sebelum bertadarus. Umi dan Fatimah masih terjaga dalam tidurnya. Setiap melihat wajah Umi aku selalu berdoa agar Allah selalu menjaganya.

Dengan hati-hati aku membuka pintu kamar itu untuk menuju dapur.

Sesampainya di dapur aku melihat tumpukan Cucian piring. Mungkin, bi Suni sangat lelah sehingga lupa mencucinya. Setelah meminum air yang ku ambil dari dispenser, aku langsung melinting lengan panjangku untuk mencuci piring.

Tumpukan itu sangat banyak. Tidak bisa kubayangkan menjadi bi Suni. Sudah harus memasak, membereskan rumah seluas ini, mencuci piring, sampai membeli kebutuhan rumah. Semua dia lakukan sendiri.

"Lo ngapain?" Hampir saja kulempar  piring yang sedang ku bilas. Aku melirik ke arah suara itu.

Rambut berantakan, wajah bantal, dengan baju yang terbuka kancingnya. Astaghfirullahaladzim, aku langsung mengalihkan pandanganku kepada piring itu.

"Lagi nyetrika." Pria itu membuka kulkas lalu mengambil sesuatu dari situ. Aku segera mencuci tanganku lalu mencegah pria itu meminum air dingin yang baru saja dia ambil.

"Eits. bangun tidur kok minum dingin." Aku merebut botol itu lalu memasukkaannya kembali kedalam kulkas. Kutarik lengan bajunya menuju dispenser.

Aku mengambil gelas lalu meneduhkan air panas bercampur air biasa agar menjadi air hangat untuknya.

"Nih. Bangun tidur itu baiknya minum air hangat." Saranku lalu menyodorkan gelas berisi air hangat itu.

"Apa peduli Lo?" Dia malah tidak melakukan apa yang kuperintahkan.

"Seorang istri tugasnya melayani suami." Aku kembali ke wastafel untuk menyelesaikan cucian piring itu.

Beberapa saat kemudian, dia meminum air itu. Aku tersenyum tipis, meskipun jika mengingat kejadian semalam, rasanya masih ingin membiarkannya.

"Lo cosplay jadi bi Suni?" Aku tertawa mendengarnya.

"Kalau mau tidur, tidur aja." Kalimatku justru tidak menjawab pertanyaannya sedari tadi. Pria itu hanya mengangguk lalu berjalan menuju kamarnya.

"Oiya, Lo gak tidur di kamar?"

"Ada Umi dikamar sebelah."

"Sebelah mana?" Aku meletakkan piring terakhir ke rak piring lalu mencuci tangan.

"Sebelah kanan." Aufar mendengus.

"Ada Umi kok Lo gak ngomong?" Aku tertawa kecil. Apa harus ada Umi baru dia baik kepadaku?

"Kamu kan sibuk sama pacarmu." Aku berjalan mendahuluinya menuju mushola. Tidak kusangka, pria berbadan tegap itu malah mengikutiku.

"Zay, pertanyaan gue belom Lo jawab!"

"Aku mau tadarus. Kalau kamu mau aku jawab pertanyaanmu, tunggu aku selesai tadarus." Aku langsung memakai mukenaku tanpa melepas kerudungku. Setelah itu langsung membuka mushafku dan membacanya.

Ajaibnya pria itu benar-benar menungguku di belakangku. Meskipun dia tidak tertarik untuk membaca mushaf juga.

Setelah membaca kurang lebih satu juz, aku menyudahi tadarusku pagi itu. Pria yang sedar tadi masih menungguku itu sudah tertidur pulas disitu.

FARWhere stories live. Discover now