Chapter 16

2.2K 413 30
                                    

Hari yang berat
----

Mencintai sepihak adalah cinta yang paling menyakitkan yang pernah ku ketahui didunia. Semua orang berkata bahwa menikah adalah hal terbahagia. Namun tidak denganku.

Menikah dengan Aufar bukanlah keinginanku, namun, aku juga tidak bisa membayangkan jika hari itu aku benar-benar menerima lamaran mas Azzam.

Aku menatap langit-langit kamar. Kali ini mulutku terkunci, namun pikiranku melayang kemana-mana. Aku tidak tahu bagaimana cara mengatasi overthinking yang aku rasakan akhir-akhir ini.

Namun, aku cukup menikmatinya.

Tok tok tok

Aku segera menegakkan badanku yang semula rebahan. Aufar membuka pintu itu. Wajahnya masih dengan wajah yang sama seperti kemarin. Setelah pria bernama pak Fauzan itu memberitahu perihal warisan, ia tidak pulang semalam.

Mungkin, ia menginap dirumah Farez atau Nanda. Aku tersenyum menatap Aufar, pria itu justru menatapku dengan tatapan sinis.

"Ngapain lu senyum-senyum?" Aku mengembalikan wajah datarku. Kutarik senyumku kembali. Memang benar senyuman tidak merubah apapun, apalagi tangisan.

"Gua pikir Lo udah pergi dari rumah ini. Ternyata rasa sombong Lo lebih tinggi daripada rasa malu Lo." Kenapa kalimat yang keluar dari mulutnya selalu menyakitkan bagiku?

"Apa aku pernah menyakitimu?" Tanyaku setelah menghela nafas berkali-kali. Aufar tersenyum miring.

"Lo gak sadar? Dengan Lo masih ada disini itu artinya Lo nyakitin gua!" Dia berteriak lumayan keras lalu sepersekian detik kemudian dia melempar selembar kertas kepadaku.

"Apa ini?"

"Gugatan."

"Astaghfirullah, far! Kenapa kita harus cerai? Kita bisa bicara—"

"Lo sendiri yang bilang mau cerai in gua. Gua cuma bantuin Lo!" Kalimatnya benar. Aku yang bilang akan menceraikannya saat itu. Namun, aku tidak sungguh-sungguh dengan kalimatku.

"Lo terlalu baik buat gue." Kalimat yang baru saja dikatakan Aufar itu membuatku ingin tertawa saja.

"Jadi aku harus jadi pencuri biar gak terlalu baik?" Aufar menatapku sinis. Pertanyaanku tidak disambutnya dengan baik.

"Lo tenang aja. Gua gak jelek-jelek in Lo disitu. Gue cuma bilang kalo gak ada kecocokan antara kita." Aku mengangguk-angguk. Pliss, Maida! Jangan menangis sekarang. Jangan. Jangan menangis dihadapannya.

Beberapa saat kemudian, pria yang tadi berada di hadapanku itu berjalan menuju kamar rahasianya. Menutupnya kencang dan rapat. Aku menjatuhkan diriku diatas lantai.

Menangis tanpa suara itu sangat sakit. Aku meraih kertas yang tadi dilempar oleh pria itu, lalu merobeknya.

Kini, Helaan nafas yang menemani langkahku. Mengapa ini sungguh terasa berat?

***

"Umi pulang dulu, ya. Kasihan tanaman dirumah gak ada yang nyiram." Aku mengangguk lalu mengelus kepala Fatimah. Satu-satunya kelebihanku yang aku syukuri adalah mataku tidak mudah bengkak setelah menangis.

Banyak orang yang setelah menangis lalu matanya bengkak, hidungnya memerah. Namun, aku tidak. Kecuali jika tangisan itu benar-benar lama. Namun, aku belum pernah menangis melebihi 15 menit.

Hati memang mudah berbolak-balik.

"Iya, Umi. Sehat-sehat ya." Ungkapku lalu mencium tangannya.

"Aufar mana?" Aku tersenyum tipis. "Lagi tidur, mi. Mungkin kecapekan." Umi hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasanku. Padahal, aku tidak tahu apa yang sedang dilakukan pria jangkung itu.

FAROù les histoires vivent. Découvrez maintenant