Chapter 2

3.2K 408 16
                                    

Kebingungan
.
.
.
🍁🍁🍁

"Umi," aku menyapa umi dengan ceria. Bibirku tidak berhenti tersenyum sejak tadi. Bagaimana bisa, mas Azam pria yang kucintai selama 6 tahun kini menyatakan perasaannya padaku.

"Ada apa, sih? Kok seneng banget?" Tanya umi sambil mengelus rambutku pelan. Aku tersenyum ceria. Aku tidak ingin memberitahu umi dulu, kata mas Azam, dia akan melamarku saat umi sedang tidak sibuk.

Aku mengatakan saat weekend, dan katanya untuk surprise umi.

"Doakan aja, mi," aku memeluk umi dengan perasaan bahagia. Aku berjala menuju kamar.

"Eh, da," suara umi membuatku berhenti melangkah.

"Ada apa, mi?" Tanyaku menoleh. Umi tersenyum.

"Umi mau bicara sebentar deh," katanya membuatku mengerutkan kening. Aku mengurungkan diri untu merebahkan badanku.

"Iya, mi?" Aku pun duduk di hadapan umi. Umi memegang tanganku. Wajah umi sudah tidak seceria dulu saat masih bersama ayah. Mengapa aku jadi ingin menangis.

"Kalau misal, ini misal ya.. Abi ngasih suatu wasiat yang harus kamu lakuin, kamu mau gak?" Tanya umi membuatku bingung.

"Iya, gak papa, mi.. pokoknya Maida mau ngelakuin apapun untuk membuat umi sama abi seneng," kataku membuat umi tersenyum. Umi lalu mengangguk-angguk.

"Makasih, ya nak," kata umi lalu mengelus kepalaku. Aku mengangguk tersenyum. Walaupun, dalam hati, aku bertanya-tanya. Apakah ada wasiat Abi yang akan memberatkan ku? Aku tidak ingin mengambil pusing lalu segera kembali ke kamar ku.

🍁🍁🍁

Aku memarkirkan sepeda motorku di depan warung. Seperti biasa setiap jam 8 pagi, aku menjaga warung karena umi masih bekerja di pasar. Aku membuka warung kecil ini. Warung makan yang di bangun oleh Abi sejak sepuluh tahun lalu ini masih berdiri kokoh.

"Perlu bantuan?" Suara berat itu mengagetkanku. Aku tersenyum ketika tau bahwa itu mas Azam.

"Loh, mas Azam gak kuliah?" Tanyaku sambil merapikan kursi-kursi di meja warung. Mas Azam memang masih menjabat sebagai mahasiswa, bisa di bilang ia mahasiswa tingkat akhir. Kelulusannya seharusnya sudah terjadi satu tahun lalu.

"Enggak, nanti siang," jawabnya singkat lalu membantuku merapikan kursi-kursi itu.

"Jadi besok malem umi sibuk gak?" Tanya mas Azam setelah kami selesai merapikan kursi. Aku menggeleng cepat. Memang aku belum bertanya perihal sibuk atau tidaknya umi, namun aku yakin bahwa hari Sabtu umi tidak memiliki kesibukan apa-apa.

"Kayaknya enggak, mas. Dateng aja," kataku tersenyum. Bagaimana hatiku tidak bahagia, seorang yang kucintai diam-diam itu akan melamarku.

Mas Azam mengangguk lalu tersenyum juga.

DRRTTDRRT

Aku yakin itu bukan bunyi Ponselku. Benar itu bunyi ponsel mas Azam. Beberapa detik kemudian mas Azam mengangkat telepon nya.

"Hah? Sekarang lokasi mu dimana?" Pekik mas Azam setelah berbasa-basi di telepon. Aku hanya duduk sambil merapikan barang dagangan.

FARWhere stories live. Discover now