Chapter 8

2.3K 396 25
                                    

Permulaan
.
.
.
🍁🍁🍁

Pernah dengar kalimat, "Ketika kamu memutuskan mencintainya, itu artinya kamu sudah siap untuk sakit hati karenanya." Ya, aku akan mulai mencintai Aufar.

Seperti yang Farez katakan, aku harus kuat menghadapi sikapnya.

Aku membenarkan jilbab pashminaku sebelum keluar kamar. Hari ini aku ingin membeli camilan di luar rumah. Selain karena ingin memiliki camilan, aku juga sangat bosan dirumah ini.

Aku menuruni tangga berlantai warna putih kekuningan itu. Terlihat Bi Suni sedang sibuk berkutat dengan sayur-sayuran di dapur. Beliau memang selalu menyiapkan sarapan, meskipun nanti Aufar tidak memakannya.

"Pagi, bi Suni." Sapaku saat jarakku dengannya sudah dekat. Bi Suni terlihat terkejut.

"Kaget, saya, non. Gak biasanya ada majikan nyapa pembantunya." Ujarnya tersenyum ke arahku. Aku tertawa.

"Kita kan bukan majikan dan pembantu, Bi. Aku malah nganggep bi Suni kayak Umi ku.." kataku lalu mengambil pisau untuk membantunya merajang sayuran.

"Eh, mau ngapain? Non di meja makan aja.. nyiapin roti. Ini tugas saya.."

"Gak papa dong.."

"Jangan, non... Nanti dimarahin bos Aufar lagi. Mau?" Ucapan bi Suni membuat ku mengingat Aufar yang memarahiku beberapa hari silam.

Aku pun menurut lalu berjalan menuju meja makan untuk mengoleskan selai ke roti yang sudah di siapkan bi Suni. Aku menoleh ketika mendengar suara langkah kaki.

Rupanya Aufar.

Dia... Menggunakan sarung? Apa dia baru melaksanakan sholat Dhuha? Atau subha? Subuh Dhuha? Melihatnya menggunakan sarung dan baju putih Koko seperti itu, aku jadi teringat ketika dia datang ke rumahku pertama Kali.

Terlihat sangat berbeda dengan perilakunya. Aku menghela nafas.

"Ngapain, lu?" Dia langsung duduk di kursi yang ada di hadapanku. Padahal, kata bi Suni, biasanya, dia tidak pernah duduk di meja makan.

"Apa sekarang mata berfungsi untuk mendengar?" Tanyaku membuatnya mendengus lalu menuangkan air kedalam gelas. Aku tersenyum melihat tingkahnya.

"Habis sholat?" Akhirnya aku berani menanyakan hal yang sedari tadi berputar di otakku. Dia mengangguk namun sorot matanya masih tidak ramah.

"Gak lihat gue pake sarung?!" Aku mengangguk. Apa dia tidak bisa berkata lembut sekali saja? Mengapa harus menggunakan nada tinggi?!

"Memang bisa, ya, hidup tenang kalau kayak gitu?" Dia menatapku sambil mengerutkan kening. Aku menghela nafas lalu memberanikan diri menatapnya balik.

"Hidup kayak apa maksud Lo?"

"Yaa.. sholat sambil maksiat." Jawabku lalu meletakkan roti kedalam kotak makan agar bisa dibawa Aufar ke kantor nanti.

"Tenang-tenang aja kok." Tukasnya santai. Dia malah mencomot roti yang baru saja kumasukkan itu membuatku ingin memukulnya. Namun, ku urungkan mengingat betapa galaknya pria bernama Aufar itu.

"Gimana, ya. Harusnya sholat itu menghindarkan kita dari maksiat. Tapi kok bisa, ya. Kamu hidup dengan sholat dan maksiat." Gumamku sedikit keras hingga Aufar mendengarnya.

"Emang kenapa, sih? Lagian juga gak ngefek." Aku menghela nafas mendengar jawabannya yang diluar ekspektasi ku. Lalu apa guna nya dia sholat jika tidak berefek pada kehidupannya?.

"Nih, ya. Kamu kalau makan makanan bergizi sama makan racun secara bersamaan, apa yang akan menang?"

"Racun, maybe."

FARWhere stories live. Discover now