Chapter 23

2K 403 60
                                    

Mas Azzam, lagi.
----

"Makasih yaaaa!" Aku melambaikan tangan ketika anak-anak sudah bersiap pulang dengan sepeda mereka. "Dadah, kak! Assalamualaikum!" Pamit mereka hampir berbarengan. Aku melambaikan tangan tidak berhenti tersenyum menatap mereka.

Satu persatu mereka keluar dari gerbang, ada juga yang berboncengan.

"Lo suka anak-anak?" Tanya Farez setelah mereka semua menghilang. Aku mengangguk, "Suka banget. Mereka lucu." Jawabku seadanya. Aku memang menyukai anak-anak.

"Yaudah gue balik." Pamit Farez. Aku mengangguk mengiyakan. "Thank you ya! Gue balik dulu. Bye!" Farez menaiki sepeda motornya lalu menjalankannya menuju gerbang.

Aku berbalik ingin membereskan barang-barang yang tercecer diruang tamu.

"Eh?" Aku mengambil ponsel hitam yang tergeletak dimeja. "Astaghfirullah, ini hape nya Farez!" Pekikku. Aku segera menuju garasi untuk mengambil sepeda motor. Harap-harap Farez belum terlalu jauh dari rumah.

Aku menjalankan motor keluar gerbang, menyapa pak Odap yang sedang bertelponan entah dengan siapa.

"Duh, ini belok kanan, atau kiri, ya?" Aku menggaruk-garuk tengkuk. Aku membelokkan motor ke kanan, jika tidak menemukannya, aku akan berbalik ke kiri.

Dipinggir jalan itu ada sebuah mobil sedan. Pria pemilik mobil itu sedang mengecek ban mobil itu. Aku mengentikan motorku lalu berjalan kearah pria itu.

"Permisi, pak. Mau tanya—" aku membulatkan mata ketika pria itu menoleh. Pria berwajah teduh itu juga terkejut ketika melihatku.

"M-mas A-azzam?!" Pekikku melihatnya. Pria yang memakai kaus coklat dan celana jeans itu berdiri. Aku melirik kearah mobil, dia tidak bersama istrinya?

"Lho?! Kok?!"

"Mas Azzam kok disini?" Tanyaku basa-basi. Meskipun dia sempat membuatku kecewa, namun, rasanya tidak baik jika marah kepadanya sampai berbulan-bulan.

"Lho harusnya aku yang nanya, kok kamu disini?" Pria itu malah balik bertanya. Aku tertawa kecil.

"Maida tinggal dideket sini, mas." Mas Azzam nampak terkejut.

"Lho, tempat kerja mas juga Deket sini." Aku mengerutkan kening. Daerah ini sangat jauh dari rumahku, itu artinya juga jauh dari rumah mas Azzam. Mas Azzam tertawa.

"Aku tinggal dirumah Namira, makanya pindah kerja. Aku berhenti kuliah setelah menjadi ayah." Jelasnya membuatku mengangguk-angguk. Ternyata masih Banyak yang tidak kuketahui tentang pria ini. Aku tidak tahu jika ia sudah bekerja.

Aku menghela nafas, "loh, ini kenapa, mas?" Tanyaku melihat ban mobil itu kempes. Mas Azzam menghela nafas berat.

"Bocor. Kamu tau bengkel Deket sini gak?" Tanyanya membuatku menggeleng. Aku saja baru menjadi warga disini dan akupun lebih sering dirumah. "Masih jauh dari kantornya?" Tanyaku melihat wajahnya bingung.

"Lumayan, sih." Mas Azzam melirik tanganku yang masih terperban.

"Tanganmu kenapa?? Kok—"

"Ah, gak papa, mas. Cuma kegores waktu masak." Jawabku berbohong. Mengapa aku sering sekali berbohong dihadapan pria ini.

"Mas kira kenapa." Dia tertawa lalu menggaruk tengkuknya.

"Yaudah kerumah Maida dulu aja, mas. Nanti tinggal panggil tukang bengkel." Tawarku mengalihkan pembicaraan.

Tidak bisa kupungkiri bahwa pria ini juga pahlawan dihidupku, kali ini, aku ingin menjadi pahlawannya. Sebagai saudara seislamnya, bukan sebagai pengagumnya.

FARWhere stories live. Discover now