Chapter 3

2.7K 383 16
                                    

Sebuah pernikahan

.
.
.
🍁🍁🍁

Aku membolak-balik buku yang ada di tanganku. Sedari tadi pandanganku kosong, aku tidak bisa fokus akhir-akhir ini, mengingat mas Azam yang tidak pernah mengunjungiku setelah mengirim pesan WhatsApp malam itu.

"Da, nanti om Radit mau kesini," Suara ibu mengejutkanku.

"Pake baju yang bagus," bisik Umi tepat di telingaku. Sebenarnya, tidak apa-apa jika hanya om Radit yang berkunjung. Namun, jika bersama anaknya-Aufar, sungguh aku malas memakai baju terbaikku.

Aku tersenyum tipis pada Umi. Sepertinya umi tidak tahu sifat asli Aufar. Beberapa menit kemudian, suara pintu diketuk. Aku tebak itu om Radit. Aku memakai gamis coklat dengan kerudung motif coklat mudaku. Terdengar umi mempersilahkan om Radit masuk. Aku berjalan keluar kamar dan memasang senyum palsuku.

"Assalamualaikum, om Radit," sapaku Tersenyum lalu duduk Di hadapan om Radit. Om Radit Tersenyum kepadaku. Aku melihat-lihat ke arah mobil, memastikan keberadaan Aufar.

"Aufar gak ikut, da," kata om Radit seperti tau apa yang sedang kucari. Aku tersenyum lebar. Alhamdulillah, anak itu sadar diri.

"Tapi, da. Om mau ngajak kamu jalan-jalan berdua saja, bisa?" Tanya om Radit membuatku melirik ke arah umi. Umi mengangguk cepat seolah berkata 'iya, sana'. Aku mengangguk ragu.

"Gak jauh-jauh kok, sekitar sini, aja, da." Kata om Radit seperti mengetahui kekhawatiran ku. Setelah berpamitan dengan Umi, Aku pun mengikuti langkah om Radit menuju mobil. Aku duduk tepat disebelah om Radit, sebenarnya tadi aku ingin duduk di belakang saja, namun tidak enak jika seperti menjadikan om Radit supir.

Mobil berhenti tepat di sebuah Rumah makan. Rumah makan itu lumayan sepi. Setelah keluar dari mobil, Aku dan om Radit pun berjalan menuju Rumah makan itu. Aku duduk canggung dihadapan om Radit. Padahal, tadi di rumah aku biasa saja.

"Mau makan apa, da?" Tanya om Radit ramah.
"Sama aja, om," jawabku Tersenyum. Ok Radit mengangguk lalu memesan makanan kepada waiter yang berdiri di dekat kita sedari tadi.

"Jadi ada hal penting yang mau om bicarakan, da," kata om Radit membuatku mengangguk.

"Apa kamu bersedia menikah dengan Aufar?" Aku terkejut mendengar pertanyaan om Radit yang begitu to the poin. Aku menggeleng ragu mengingat percakapanku dengan Aufar di telepon Minggu lalu membuatku bergidik ngeri membayangkan menjadi istrinya.

"Om yakin kamu tidak akan mau. Tapi, boleh om minta satu hal?" Tanya om Radit membuat jantungku berdebar. Aku mengangguk.

"Menikahlah dengan Aufar, Maida. Om minta tolong banget. Om akan lakuin semua yang kamu perintah. Om akan-"

"Memang kenapa saya harus menikahinya om? Bahkan anak om tidak cinta sama saya," kataku memotong perkataan om Radit. Tidak enak mendengarnya memohon seperti itu. Om Radit terdiam.

"Beri saya satu alasan kuat, om?" Lanjutku masih menatap om Radit.
"Dia butuh kamu,"
"Hah?"
"Dia butuh sosok seperti kamu, da,"
Aku mengernyitkan kening mendengarnya. Butuh bagaimana maksudnya?

"Dan.. om juga sepakat dengan abimu untuk menjodohkan kalian berdua," Lanjutnya membuat jantungku berdetak lebih cepat.
"Tolong, da.. om cuma percaya sama kamu," aku mengernyitkan kening lagi. Aku sama sekali tidak paham dengan ucapan om Radit.

FARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang