08. SELENA

36.4K 5.1K 317
                                    

Matahari bersembunyi di balik awan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Matahari bersembunyi di balik awan. Sesekali angin juga berhembus menerbangkan anak rambut dan poniku. Suara dedaunan pohon yang saling bergesek menemani kesunyian hutan.

Tidak ada yang istimewa dari hutan di dunia ini. Semuanya terasa normal seperti hutan di duniaku.

Aku duduk bersandar ke batang pohon yang cukup besar. Sedangkan lelaki bertanduk itu sedang pergi mencari sesuatu untuk kami makan.

Kuakui, saat ini ia terlihat lebih manusiawi. Dia menolongku saat aku terjatuh dan kini memastikan agar kami tidak kelaparan.

Aku tidak begitu takut lagi dengannya. Dia sudah memberi tahuku bahwa pria yang ia bunuh tadi bukanlah manusia. Sederhananya, itu adalah sejenis makhluk sihir, mata mata seseorang. Dari penjelasannya yang cukup masuk akal, aku memilih untuk percaya.

Aku lalu mengeluarkan kertas catatanku dari saku. Mengintip isi di dalamnya tanpa tujuan yang jelas. Lalu kembali memasukkannya ke dalam saku.

"Kau sudah kembali?" Aku menoleh saat mendengar suara langkah kaki mendekat.

Lelaki bertanduk kerbau itu lalu duduk bersandar ke salah satu batang pohon yang tak jauh dariku. Ia memberikan dua buah apel padaku, sebelum akhirnya ia sendiri juga memakannya.

Aku menggigit apel sambil memperhatikan lelaki pucat itu. Tanduk kerbaunya terlalu sulit untuk kupercaya. Aku juga baru sadar bahwa setelah pertemuan pertama kami, tidak ada lagi lambang bulan sabit di dahinya. Dahinya tampak bersih sekarang.

"Pangeran," panggilku membuatnya melirik.

"Ngomong ngomong namamu siapa? Maksudku, sejak kita pertama kali bertemu, kau belum memperkenalkan diri."

"Bukan urusanmu," dinginnya.

Angkuh sekali makhluk jadi jadian satu ini.

"Ya... lalu aku harus memanggilmu apa? Masa 'pangeran' terus?"

Tidak ada perubahan ekspresi darinya. Malah sekarang ia membuang pandangannya, memperjelas bahwa ia tidak peduli dan tidak tertarik.

Aku diam beberapa saat, lalu berdecak pelan.

"Atau jangan jangan kau tidak memiliki nama ya?" gumamku kecil.

Aku mengangguk anggukkan kepala beberapa kali.

"Jika kau tidak punya nama, aku bisa memberimu nama panggilan." Aku tersenyum kaku menatap lelaki itu.

Dan tentunya, ia tetap tidak peduli. Tidak apa, aku sudah terbiasa 'dikacangi'.

"Bagaimana jika..." Aku menjeda, "Pangeran Moon! Aku bisa memanggilmu 'Mun', begitu. Singkat' kan, Mun?"

Tebakanku benar, ia langsung menoleh dengan raut wajah tak suka. "Mun?"

Sedangkan aku tentunya tetap tersenyum.

"Iya, Mun! Kau suka nama panggilannya?"

Sebelum ia menjawab, aku kembali berucap, "Atau... Ah, Pangeran Munlo! Itu jauh lebih cocok."

AGRHANA [tamat || terbit]Where stories live. Discover now