21. KUNCI KEMBALI

26.7K 3.9K 74
                                    

Hoppsan! Denna bild följer inte våra riktliner för innehåll. Försök att ta bort den eller ladda upp en annan bild för att fortsätta.

"Udah ga dipuji, ga bantuin, seenaknya suruh orang ganti lagi!" Aku terus menggerutu saat menuruni tangga kayu bagian belakang kastil

Hoppsan! Denna bild följer inte våra riktliner för innehåll. Försök att ta bort den eller ladda upp en annan bild för att fortsätta.

"Udah ga dipuji, ga bantuin, seenaknya suruh orang ganti lagi!" Aku terus menggerutu saat menuruni tangga kayu bagian belakang kastil. Memang Al selalu membuatku emosi.

Aku menuruti Al, mengganti pakaianku dengan gaun yang lebih sederhana agar lebih mudah untuk bergerak. Pilihanku jatuh pada gaun krem polos yang hanya terbuat dari satu lapis kain sehingga langsung jatuh begitu saja. Dengan satu pita pengikat di bagian belakang dan lengan sepertiga. Aku juga mengikat asal rambut ekor kudaku dengan scrunchie merah muda.

Matahari bersinar semakin terik dan panas saat aku tiba di halaman belakang kastil.

Sepertinya hari ini Selena tidak datang ke mari, aku tidak melihat batang hidung gadis itu sama sekali. Padahal aku penasaran juga, kira-kira hari ini apa warna rambutnya.

Sebenarnya aku tidak tau apa tujuan Al tiba tiba memintaku belajar pedang. Namun dibanding menghabiskan waktu di perpustakaan, aku memilih ikut Al, setidaknya menambah pengalamanku di dunia ini. Lagi pula, siapa tahu tiba tiba aku dapat menemukan ilham atau semacam sains di dunia ini yang dapat membawaku kembali ke duniaku. Alam selalu memiliki rahasia yang menarik.

Mataku menyipit silau, seketika merasa malas untuk turut berjemur pada panasnya matahari. Sedangkan lelaki tinggi bertanduk kerbau-dengan pakaian serba hitamnya itu, sudah berdiri di seberang rumput, menatapku dingin. Di bawah teriknya matahari, kulit pucat Al tampak semakin putih seperti mayat hidup. Hanya bibirnya saja yang tampak merah.

Al mengambil sebuah pedang kayu, lalu tanpa aba-aba ia melemparkannya padaku.

Tentu saja aku reflek mundur, menghindari lemparannya.

Aku menatapnya sinis.

"Woles dong." Aku berdecak kesal.

"Woles?"

Lagi-lagi dia salah fokus.

"Maksudku slow. Tinggal dibalik saja, woles-selow. Begitu."

"Selow?"

Aku balas menatap Al dengan ekspresi datar.

"Maksudku santai, tidak perlu lempar pedangnya," jelasku lagi.

AGRHANA [tamat || terbit]Där berättelser lever. Upptäck nu